Senin, 13 Oktober 2008
Hubungan Buku Teks dan Komponen Pembelajaran
Lewat uraian ini diharapkankan Anda mempunyai pemahaman tentang hubungan buku teks dan komponen pembelajaran, khususnya mengenai:
- hubungan buku teks dan kurikulum;
- hubungan buku teks dan tujuan pembelajaran;
- hubungan buku teks dan siswa;
- hubungan buku teks dan guru;
- hubungan buku teks dan media pembelajaran; dan
- hubungan buku teks dan strategi pembelajaran.
Mengapa buku teks dihubungkan dengan komponen pembelajaran? Ya, karena buku teks merupakan sajian tertulis suatu pembelajaran. Oleh karena itu, semua komponen pembelajaran layak tecermin di dalam buku teks.
1. Hubungan Buku Teks dan Kurikulum
Para guru yang setiap hari berkecimpung dalam dunia pembelajaran akan terasa benar betapa erat hubungan antara kurikulum dan buku teks. Begitu eratnya, terasa hubungan itu saling menunjang antara satu dengan yang lain. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa kurikulum lebih dahulu daripada buku teks. Buku teks dianggap sebagai sarana penunjang bagi kurikulum tersebut. Walaupun begitu, tidaklah menutup kemungkinan bahwa kurikulum lahir berdasarkan adanya buku teks yang dianggap relatif baik sehingga perlu disusun programnya secara bersistem.
Pada hakikatnya, kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Sementara itu, buku teks adalah sarana belajar yang digunakan di sekolah untuk menunjang suatu program pembelajaran. Dengan demikian, keberadaan kurikulum dan buku teks selalu berdekatan dan berkaitan. Atau, dengan perkataan lain, kurikulum itu ibarat resep masakan dan buku teks adalah bahan-bahan yang dilakukan untuk mengolah masakan tersebut. Dalam hal ini pengolah atau juru masaknya adalah guru.
Namun demikian, kurikulum itu tidak bersifat menentukan segalanya. Pada kurikulum KTSP, misalnya, yang pengembangannya dilakukan sepenuhnya oleh sekolah masih diperlukan penafsiran, penjelasan, perincian, dan pemaduan terhadap kompetensi, hasil belajar, indikator, dan materi pokok yang tercantum pada kurikulum itu. Dalam penulisan buku teks, penulis masih perlu menyusun silabus, menentukan metode pembelajaran, mencari bahan yang sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai, dan menentukan cara penyajian bahan yang sesuai dengan perkembangan anak. Mengingat keadaan kurikulum demikian itu, makin besarlah tanggung jawab penulis buku teks untuk menjabarkan kurikulum dalam bentuk silabus. Di samping itu, penulis perlu memahami benar landasan-landasan dan arah yang digunakan dalam penyusunan kurikulum agar penafsiran dan pengembangannya dalam bentuk buku teks dapat dipertanggungjaabkan dari berbagai segi.
Menurut Tyler, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dalam proses pengembangan kurikulum.
1) Tujuan apa yang ingin dicapai?
2) Pengalaman belajar apa yang perlu disiapkan untuk mencapai tujuan?
3) Bagaimana pengalaman belajar itu diorganisasikan secara efektif?
4) Bagaimana menentukan keberhasilan pencapaian tujuan?
Keempat pertanyaan tersebut terlihat pada (1) Komponen tujuan, (2) Komponen isi. (3) Komponen metode pembelajaran, dan (4) Komponen evaluasi atau penilaian pada kurikulum.
Komponen tujuan merupakan arah atau sasaran yang hendak dituju oleh proses penyelenggaraan pendidikan. Dalam setiap kegiatan sepatutnya mempunyai tujuan, karena tujuan menuntun kepada apa yang hendak dicapai, atau sebagai gambaran tentang hasil akhir dan suatu kegiatan.
Komponen isi merupakan pengalaman belajar yang diperoleh siswa dari sekolah. Dalam hal ini siswa melakukan berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh pengalaman belajar tersebut. Pengalaman-pengalaman ini dirancang dan diorganisasikan sedemikian rupa sehingga apa yang diperoleh siswa sesuai dengan tujuan.
Komponen metode pembelajaran merupakan cara yang dilakukan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar untuk mencapai tujuan. Metode kurikulum berkaitan dengan proses pencapaian tujuan sedangkan proses itu sendiri berkaitan dengan bagaimana pengalaman belajar atau isi kurikulum diorganisasikan.
Komponen evaluasi atau penilaian pada kurikulum merupakan cara yang dilakukan untuk mengukur kadar ketercapaian tujuan pembelajaran, baik secara proses maupun hasil. Hasil evaluasi ini dapat dipakai sebagai dasar untuk melakukan perbaikan lebih lanjut agar tujuan pembelajaran yang diidealkan dalam kurikulum dapat tercapai secara maksimal.
Pada sisi lain, setiap pilihan dan bentuk yang diterapkan dalam pengembangan kurikulum akan membawa dampak terhadap proses memperoleh pengalaman yang dilaksanakan. Untuk itu perlu, ada kriteria pola organisasi kurikulum yang efektif.
Menurut Tyler, kriteria dalam merumuskan organisasi kurikulum yang efektif adalah(1) berkesinambungan (continuity), (2) berurutan (sequence), dan (3) keterpaduan (integration). Prinsip berkesinambungan terlihat adanya pengulangan kembali unsur-unsur utama kurikulum secara vertikal. Sebagai contoh, jika dalam Pelajaran Bahasa Indonesia pengembangan keterampilan membaca dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting, maka pelatihan membaca perlu dilakukan secara terus-menerus atau berkesinambungan. Dengan demikian, keterampilan siswa dalam membaca dapat berkembang secara efektif melalui pelajaran tersebut. Prinsip berurutan terlihat pada isi kurikulum diorganisasi dengan cara mengurutkan bahan pelajaran sesuai dengan tingkat kedalaman atau keluasannya. Sebagai contoh, pembelajaran keterampilan membaca dimulai dari membaca permulaan sampai dengan membaca lanjut. Dengan demikian, penguasaan siswa terhadap diperoleh secara bertahap dari yang mudah (keterampilan dasar) menuju yang sulit atau kompleks (keterampilan lanjut).
Sementara itu, prinsip keterpaduan menampak pada tidak adanya pemisahan secara dikotomis antara isi yang satu dengan yang lain dalam kurikulum. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, siswa tidak pernah menerapkan secara terpisah keterampilan tertentu dengan keterampilan yang lain. Mereka selalu menerapkannya secara terpadu. Sebagai contoh, pembelajaran membaca di sekolah sebaiknya dilakukan secara terpadu dengan pembelajaran menulis sehingga keterampilan siswa lebih utuh, tidak terpisah-pisah. Oleh karena itu, pembelajaran berbasis kontekstual dan tematik sangat cocok untuk memenuhi kriteria keterpaduan ini.
Jawaban atas keempat pertanyaan yang dapat digali dari keempat komponen kurikulum tersebut harus dipakai sebagai dasar pengembangkan silabus dan penulisan buku teks.
2. Hubungan Buku Teks dan Tujuan Pembelajaran
Sebelum dijelaskan lebih jauh tentang hubungan buku teks dan tujuan pembelajaran, hasil penelitian tentang ”Hubungan Ketersediaan Buku dan Cara Mempelajarinya dengan Hasil Belajar Siswa dalam Ilmu Pengetahuan Sosial Si Sekolah Menengah Pertama Se-Kota Administratif Palu” yang dilakukan oleh Djamaludin Kantao berikut ini dapat dipakai sebagai ilustrasi awal.
1. Ada perbedaan hasil belajar berdasarkan ketersediaan buku teks di tangan siswa. Kelompok siswa yang ketersediaan buku teksnya berkategori "baik" memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok siswa yang ketersediaan buku teksnya berkategori "cukup". Sedangkan kelompok siswa yang ketersediaan buku teksnya berkategori "cukup" memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok siswa yang ketersediaan buku teksnya berkategori "kurang".
2. Ada perbedaan hasil belajar siswa berdasarkan cara mempelajari buku teks. Kelompok siswa yang selalu menerapkan cara mempelajari buku teks yang baik memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok siswa yang kadang-kadang menerapkan cara mempelajari buku teks yang baik. Sedangkan kelompok siswa yang kadang-kadang menerapkan cara mempelajari buku teks yang baik memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok siswa yang hampir tidak pernah menerapkan cara mempelajari buku teks yang baik.
3. Tidak ada interaksi antara ketersediaan buku teks dengan cara mempelajarinya terhadap hasil belajar siswa. Penemuan ini merupakan suatu petunjuk bahwa mungkin ada interaksi antara cara mempelajari buku teks dengan minat dan sikap siswa terhadap bahan pelajaran dalam buku teks.
Dari hasil-hasil di atas ditarik kesimpulan bahwa hasil belajar siswa tergantung kepada ketersediaan buku teks dan cara mempelajarinnya. Penyediaan buku teks yang lengkap di tangan siswa dan penerapan cara mempelajari buku teks dengan baik akan meningkatkan hasil belajar siswa.
Untuk maningkatkan hasil belajar siswa diperlukan penyediaan buku teks yang lengkap si tangan siswa dan penerapan cara mempelajari buku teks yang baik. Penyediaan buku teks yang lengkap di tangan siswa dapat dilakukan dengan cara: orang tua membelikan buku teks yang sesuai dengan kebutuhan anaknya, perpustakaan sekolah menyediakan buku teks sesuai dengan kebutuhan siswa dan perpustakaan sekolah memberikan pelayanan sebaik-baiknya terhadap siswa. Peningkatan cara mempelajari buku teks yang baik dapat dilakukan dengan cara memberikan bimbingan kepada siswa tentang bagaimana cara mempelajari buku teks dengan baik.
Berdasarkan rangkuman hasil penelitian di atas dapat diketahui betapa hubungan antara buku teks dan tujuan pembelajaran dengan penjelasan sebagai berikut.
a. Buku teks berisi serangkaian uraian materi yang mendukung tujuan pembelajaran.
b. Buku teks berisi serangkaian kegiatan yang mendukung ketercapaian kompetensi tertentu.
Dengan demikian, dengan menggunakan buku teks diharapkan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai dapat terwujud.
Tujuan pembelajaran atau kompetensi akan tercapai apabila penulis buku teks mempertimbangkan hal-hal berikut.
a. Uraian materi yang tertuang dalam buku teks harus diorientasikan pada tujuan pembelajaran dan kompetensi yang telah dirumuskan dalam silabus.
b. Tahapan-tahapan uraian materi harus diarahkan pada indikator-indikator pencapaian tujuan pembelajaran atau pencapaian kompetensi.
c. Setiap tahapan uraian materi sebaiknya difokuskan pada satu indikator pencapaian tujuan pembelajaran atau kompetensi sehingga memudahkan untuk mengukur atau mengevaluasinya.
3. Hubungan Buku Teks dan Siswa
Telah dijelaskan pada bagian 2.1 bahwa buku teks akan berpengaruh terhadap kepribadian siswa, walaupun pengaruh itu tidak sama antara siswa satu dengan lainnya. Dengan membaca buku teks, siswa akan dapat terdorong untuk berpikir dan berbuat yang positif, misalnya memecahkan masalah yang dilontarkan dalam buku teks, mengadakan pengamatan yang disarankan dalam buku teks, atau melakukan pelatihan yang diinstruksikan dalam buku teks. Dengan adanya dorongan yang konstruktif tersebut, maka dorongan atau motif-motif yang tidak baik atau destruktif akan terkurangi atau terhalangi. Oleh karena itu benar apa yang dikatakan oleh Musse dkk (1963:484) bahwa pengaruh buku teks terhadap anak bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) dapat mendorong perkembangan yang baik dan (2) menghalangi perkembangan yang tidak baik.
Memperhatikan fungsi buku teks yang begitu penting bagi siswa, maka sajian buku teks harus memperhatikan (1) pertumbuhan dan perkembangan anak, (2) perbedaan individual dan jenis kebutuhan anak, dan (3) gaya belajar anak. Ketiga hal tersebut diuraikan secara garis besar berikut ini.
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Perkembangan adalah pola gerakan atau perubahan yang dimulai sejak saat pembuahan dan berlangsung terus selama siklus kehidupan (Santrok dan Yussen,1992). Pola gerakan ini kompleks dan merupakan produk dari beberapa proses, yaitu biologis, kognitif, dan sosial.
Terkait dengan itu, Seifert dan Haffnung membedakan tiga tipe (domain) perkembangan anak, yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan perkembangan psikososial. Perkembangan fisik mencakup pertumbuhan biologis. Misalnya, pertumbuhan otak, otot, tulang serta penuaan dengan berkurangnya ketajaman pandangan mata dan berkurangnya kekuatan otot-otot. Perkembangan kognitif mencakup perubahan-perubahan dalam berpikir, kemampuan berbahasa yang terjadi melalui proses belajar. Perkembangan psikososial berkaitan dengan perubahan-perubahan emosi dan identitas pribadi individu, yaitu bagaimana seseorang berhubungan dengan keluarga, teman-teman dan guru-gurunya. Ketiga domain tersebut pada kenyataannya saling berhubungan dan saling berpengaruh.
Setiap fase perkembangan pada dasarnya sintesis dari tugas-tugas perkembangan dan tugas-tugas sosial. Oleh karena itu, pada usia-usia tertentu seseorang harus mampu melakukan tugas-tugas perkembangan tersebut agar dapat memberikan kebahagiaan serta memberi jalan bagi tugas-tugas berikutnya. Menurut Havighurst, setiap tahap perkembangan individu harus sejalan dengan perkembangan aspek-aspek lainnya, yaitu fisik, psikis, emosional, moral dan sosial.
Hasil penelitian dan kajian teoretik Carol Gestwicki (1995) mengemukakan bahwa hukum-hukum perkembangan dideskripsikan sebagai berikut.
- Dalam perkembangan terdapat urutan yang dapat diramalkan.
- Perkembangan pada suatu tahap merupakan landasan bagi perkembangan berikutnya.
- Dalam perkembangan terdapat waktu-waktu yang optimal.
- Perkembangan itu maju berkelanjutan dan semua aspek-aspeknya merupakan kesatuan yang saling mempengaruhi.
- Perkembangan itu maju berkelanjutan dan semua aspek-aspeknya merupakan kesatuan yang saling mempengaruhi.
- Setiap individu berkembang sesuai dengan waktunya masing-masing.
- Perkembangan berlangsung dari yang sederhana kepada yang kompleks, dari yang umum kepada yang khusus.
Dalam hal pertumbuhan anak, Sutterly Donnely (1973) mendeskripsikan sepuluh prinsip dasar pertumbuhan sebagai berikut.
- Pertumbuhan adalah kompleks, semua aspek-aspeknya berhubungan sangat erat.
- Pertumbuhan mencakup hal-hal kuantitatif dan kualitatif.
- Pertumbuhan adalah proses yang berkesinambungan dan terjadi secara teratur.
- Pada pertumbuhan dan perkembangan terdapat keteraturan arah.
- Tempo pertumbuhan tiap anak tidak sama.
- Aspek-aspek berbeda dari pertumbuhan, berkembang pada waktu dan kecepatan berbeda.
- Kecepatan dan pola pertumbuhan dapat dimodifikasikan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.
- Pada pertumbuhan dan perkembangan terdapat masa-masa krisis.
- Pada suatu organisme akan kecenderungan untuk mencapai potensi perkembangan yang maksimum.
- Setiap individu tumbuh dengan caranya sendiri yang unik.
Perbedaan Individual dan Jenis Kebutuhan Anak
Buku teks harus memperhatikan perbedaan individual dan jenis kebutuhan anak, naik anak usia Sekolah Dasar maupun anak usia Sekolah Menengah.
Perbedaan individual anak usia Sekolah Dasar
a. Perbedaan individual seorang anak akan terjadi pada setiap aspek perkembangan anak itu. Aspek perkembangan tersebut di antaranya adalah pada aspek perkembangan fisik, intelektual, moral, maupun aspek kemampuan.
b. Perbedaan pada aspek perkembangan fisik jelas terlihat dari perbedaan bentuk, berat, dan tinggi badan. Selain itu, perbedaan fisik juga dapat diidentifikasi dari segi kesehatan anak. Sedangkan perbedaan pada aspek perkembangan intelektual dapat dilihat sejalan dengan tahapan usia, kemampuan anak pun meningkat. Namun demikian, karena pengaruh berbagai faktor, kemampuan di antara anak-anak tersebut bisa berbeda. Misalnya, si A pada usia 7 tahun sudah bisa membuat suatu karangan yang bersifat aplikasi dari suatu konsep, tetapi si B pada usia yang sama belum bisa melakukan hal yang dilakukan A.
c. Perbedaan kemampuan seorang anak bisa mencakup perbedaan dalam berkomunikasi, bersosialisasi atau perbedaan kemampuan kognitif. Faktor yang menonjol dalam membentuk kemampuan kognitif adalah faktor pembentukan lingkungan alamiah dan lingkungan buatan.
Jenis-Jenis Kebutuhan Anak Usia Sekolah Dasar
a. Istilah “kebutuhan”, “dorongan”, atau “motif” pada kehidupan sehari-hari sering digunakan secara bergantian. Namun demikian, secara konsep ada perbedaan di antaranya. Kebutuhan lebih mengacu pada keadaan di mana seseorang terdorong melakukan sesuatu karena adanya kekurangan pada jaringan-jaringan di dalam dirinya yang lebih bersifat fisiologis; sedangkan dorongan atau motif merupakan kebutuhan tingkat tinggi yang bersifat psikologis.
b. Cole dan Bruce (1959) membagi kebutuhan menjadi dua golongan, yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis; sedangkan A. Maslow (1954) membagi kebutuhan menjadi tujuh tingkatan atau jenjang dari yang mendasar hingga kebutuhan yang paling kompleks.
c. Dalam kaitannya dengan perbedaan individu pada anak usia Sekolah dasar, digunakan penggolongan kebutuhan oleh Lindgren (1980) menjadi empat tingkatan kebutuhan, yaitu kebutuhan jasmaniah, perhatian, dan kasih sayang, kebutuhan untuk memiliki, dan aktualisasi diri.
d. Hurlock (197 menyatakan bahwa dalam pemenuhan beberapa kebutuhan anak, disiplin dapat digunakan. Sedangkan DeCecco dan Grawford (1974) mengajukan empat sikap guru dalam memberikan dan meningkatkan motivasi siswa.
Perbedaan Individu dan Kebutuhan Anak Usia Sekolah Menengah
a. Secara garis besar, perbedaan individu dikategorikan menjadi dua, yaitu perbedaan secara fisik dan psikis. Perbedaan secara psikis meliputi perbedaan dalam tingkat intelektualitas, kepribadian, minat, sikap dan kebiasaan belajar.
b. Dalam pandangan yang lain, perbedaan individual siswa sekolah menengah dibedakan berdasarkan perbedaan dalam kemampuan potensial dan kemampuan nyata. Kemampuan nyata dapat disebut sebagai prestasi belajar.
c. Menurut Witherington, indikator perilaku intelegen antara lain:
(1) kemudahan dalam menggunakan bilangan,
(2) efisiensi dalam berbahasa,
(3) kecepatan dalam pengamatan,
(4) kemudahan dalam mengingat,
(5) kemudahan dalam memahami hubungan, dan
(6) imajinasi.
d. Gage dan Berlinier (1984:165) mempunyai pandangan tentang kepribadian sebagai berikut. “Personality is the integration of all of persons traits abilities, motives as well as his or her temperament, attitudes, opinios, beliefs, emotional responses, cognitive styles, characters and morals.”
e. Menurut Murray, kebutuhan individu dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu viscerogenic dan psychogenic. Kebutuhan psychogenic dibagi lagi menjadi dua puluh kebutuhan. Kebutuhan yang cenderung dominan pada siswa sekolah menengah berdasarkan dua puluh kebutuhan, menurut konsep Murray, adalah:
(1) need for affiliation
(2) need for aggression
(3) autonomy needs
(4) conteraction
(5) need for dominance
(6) exhibition
(7) sex.
Gaya belajar anak
Sama halnya dengan keunikan tiap individu, masing-masing anak ternyata memiliki gaya belajar sendiri. Meski bersekolah di sekolah yang sama dan duduk di kelas yang sama, gaya belajar setiap anak ternyata tidak pernah sama. Perbedaan itu bahkan terdapat pada anak-anak dari satu keluarga, antara adik dan kakak, bahkan anak kembar sekalipun. Perbedaan gaya belajar anak harus terakomodasi pada buku teks.
Sekedar contoh, ada siswa yang begitu tekun menyimak meski si guru menyampaikan materi pelajaran tak ubahnya seperti ceramah selama berjam-jam. Ada yang terkesan hanya memperhatikan sepintas lalu, meski sebetulnya mereka membuat catatan-catatan kecil di bukunya. Namun jangan ditanya berapa banyak anak yang merasa bosan dengan pendekatan belajar yang menempatkan siswa sebagai pendengar setia.
Secara keseluruhan, ada sementara anak yang lebih mudah menangkap isi pelajaran jika disertai praktik. Siswa seperti ini lebih suka berkutat di laboratorium mengamati dan mempelajari berbagai hal nyata dari pada mendengar penjelasan si guru. Sementara itu, yang lain mungkin lebih tertarik mengikuti pelajaran yang disertai berbagai aspek gerak. Contohnya, guru yang menerangkan materi pelajaran kesenian sambil sesekali diselingi nyanyian dan tepuk tangan.
Tidak hanya itu. Selain ada anak yang harus “bersemedi” dan tutup pintu kamar rapat-rapat supaya bisa bekonsentrasi belajar, juga cukup banyak anak yang mengaku justru terbuka pikirannya bila belajar sambil mendengarkan musik, entah yang mengalun merdu atau malah ingar-bingar. Sementara sebagian lainnya merasa perlu untuk mengubah materi pelajaran menjadi komik atau corat-coret yang gampang “dibaca”.
Dari sekian banyak contoh gaya belajar di atas, ada tiga tipe gaya belajar yang biasa dijumpai, yaitu visual learner, auditory learner, dan kinesthetic/tactile learner
Visual Learner
Gaya belajar visual (visual learner) menitikberatkan ketajaman penglihatan. Artinya, bukti-bukti konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu agar si anak paham. Ciri-ciri anak yang memiliki gaya belajar visual adalah kebutuhan yang tinggi untuk melihat dan menangkap informasi secara visual sebelum ia memahaminya. Konkretnya, yang bersangkutan lebih mudah menangkap pelajaran lewat materi bergambar. Selain itu, ia memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna, di samping mempunyai pemahaman yang cukup terhadap masalah artistik. Hanya saja biasanya ia memiliki kendala untuk berdialog secara langsung karena terlalu reaktif terhadap suara, sehingga sulit mengikuti anjuran secara lisan dan sering salah menginterpretasikan kata atau ucapan.
Untuk mendukung gaya belajar ini, ada beberapa pendekatan yang bisa dipakai. Caranya, gunakan beragam bentuk grafis untuk menyampaikan informasi/materi pelajaran. Perangkat grafis tersebut bisa berupa film, slide, ilustrasi, coretan atau kartu-kartu gambar berseri yang dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan suatu informasi secara berurutan. Perhatikan ciri lengkap visual learner pada boks berikut
Ciri Visual Learner
- Senantiasa berusaha melihat bibir guru yang sedang mengajar.
- Saat mendapat petunjuk untuk melakukan sesuatu, biasanya anak akan melihat teman-teman lainnya baru kemudian dia sendiri yang bertindak.
- Cenderung menggunakan gerakan tubuh (untuk mengekspresikan dan menggantikan kata-kata) saat mengungkapkan sesuatu.
- Tak suka bicara di depan kelompok dan tak suka pula mendengarkan orang lain.
- Biasanya kurang mampu mengingat informasi yang diberikan secara lisan.
- Lebih suka peragaan daripada penjelasan lisan.
- Biasanya dapat duduk tenang di tengah situasi yang ribut dan ramai tanpa merasa terganggu.
Auditory Learner
Gaya belajar ini mengandalkan pendengaran untuk bisa memahami sekaligus mengingatnya. Karakteristik model belajar ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama untuk menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, untuk bisa mengingat dan memahami informasi tertentu, yang bersangkutan haruslah mendengarnya lebih dulu. Mereka yang memiliki gaya belajar ini umumnya susah menyerap secara langsung informasi dalam bentuk tulisan, selain memiliki kesulitan menulis ataupun membaca.
Untuk membantu anak-anak seperti ini, gunakan tape untuk merekam semua materi pelajaran yang diajarkan di sekolah. Selain itu, keterlibatan anak dalam diskusi juga sangat cocok untuk anak seperti ini. Bantuan lain yang bisa diberikan adalah mencoba membacakan informasi, kemudian meringkasnya dalam bentuk lisan dan direkam untuk selanjutnya diperdengarkan dan dipahami. Langkah terakhir adalah melakukan review secara verbal dengan teman. Perhatikan ciri lengkap auditory learner pada boks berikut
Ciri Auditory Learner
- Mampu mengingat dengan baik materi yang didiskusikan dalam kelompok atau kelas.
- Mengenal banyak sekali lagu atau iklan TV, bahkan dapat menirukannya secara tepat dan komplet.
- Cenderung banyak omong.
- Tak suka membaca dan umumnya memang bukan pembaca yang baik karena kurang dapat mengingat dengan baik apa yang baru saja dibacanya.
- Kurang cakap dalam mengerjakan tugas mengarang/menulis.
- Kurang tertarik memperhatikan hal-hal baru di lingkungan sekitarnya, seperti hadirnya anak baru, adanya papan pengumuman di pojok kelas dan sebagainya.
Kinesthetic/Tactile Learner
Gaya belajar ini mengharuskan individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya. Tentu saja ada beberapa karakteristik model belajar seperti ini yang tak semua orang bisa melakukannya.
Karakter pertama adalah menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi utama agar bisa terus mengingatnya. Hanya dengan memegangnya saja, seseorang yang memiliki gaya belajar ini bisa menyerap informasi tanpa harus membaca penjelasannya. Tak heran kalau individu yang memiliki gaya belajar ini merasa bisa belajar lebih baik kalau prosesnya disertai kegiatan fisik. Perhatikan ciri lengkap kinesthetic/tactile learner pada boks berikut
Ciri Kinesthetic/Tactile Learner
- Gemar menyentuh segala sesuatu yang dijumpainya.
- Amat sulit untuk berdiam diri/duduk manis.
- Suka mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan tangannya sedemikian aktif.
- Memiliki koordinasi tubuh yang baik.
- Suka menggunakan objek nyata sebagai alat bantu belajar.
- Mempelajari hal-hal yang abstrak (simbol matematika, peta, dan sebagainya) dirasa amat sulit oleh anak dengan gaya belajar ini.
- Cenderung terlihat “agak tertinggal” dibanding teman sebayanya. Padahal hal ini disebabkan oleh tidak cocoknya gaya belajar anak dengan metode pengajaran yang selama ini lazim diterapkan di sekolah-sekolah.
Apa pun gaya belajar yang dipilih pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu agar yang bersangkutan bisa menangkap materi pelajaran dengan sebaik-baiknya dan memberi hasil optimal. Itulah sebabnya mengapa penuls buku teks harus memahami aneka gaya belajar anak dan diterapkan pada buku teks yang ditulisnya.
4. Hubungan Buku Teks dan Guru
Telah dijelaskan pad bahwa buku teks mempunyai nilai lebih bagi guru. Kelebihan itu terllihat pada hal-hal berikut.
- Buku teks memuat persediaan materi bahan ajar yang memudahkan guru merencanakan jangkauan bahan ajar yang akan disajikannya pada satuan jadwal pengajaran (mingguan, bulanan, caturwulanan, semesteran).
- Buku teks memuat masalah-masalah terpenting dari satu bidang studi.
- Buku teks banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar, skema, diagram, dan peta.
- Buku teks merupakan rekaman yang permanen yang memudahkan untuk mengadakan review di kemudian hari.
- Buku teks memuat bahan ajar yang seragam, yang dibutuhkan untuk kesamaan evaluasi, dan juga kelancaran diskusi.
- Buku teks memungkinkan siswa belajar di rumah.
- Buku teks memuat bahan ajar yang relatif telah tertata menurut sistem dan logika tertentu.
- Buku teks membebaskan guru dari kesibukan mencari bahan ajar sendiri sehingga sebagian waktunya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain.
Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa masih banyak guru yang bergantung penuh pada buku teks sehingga satu-satunya sumber dalam pembelajaran adalah buku teks tersebut. Pada kondisi seperti ini, peran buku teks menjadi penting dan sangat menentukan benar-tidaknya pelaksanaan pembelajaran. Konsekuensinynya, jika sesuatu yang ada dalam buku teks tersebut salah, misalnya, pengetahuan siswa pun akan menjadi salah. Jika kebijakan pemilihan buku teks diberikan kepada guru mata pelajaran, perlulah memberikan bekal yang memadai pada para guru akan kriteria buku teks yang baik dan benar. Namun, jika kebijakan yang diambil adalah membuat buku teks sendiri, perlulah dibuat tim yang benar-benar menguasai materi bidang studi dan tatacara penulisan buku teks yang benar.
Guru menggunakan buku teks karena ia memiliki beberapa fungsi. Sheldon mengajukan tiga alasan utama yang diyakininya mengenai penggunaan buku teks oleh para guru. Pertama, karena mengembangkan materi ajar sendiri sangat sulit dan berat bagi guru. Kedua, guru mempunyai waktu yang terbatas untuk mengembangkan materi baru karena sifat dari profesinya itu. Ketiga, adanya tekanan eksternal yang menekan banyak guru (Sheldon dalam Garinger 2001: 2). Ketiga alasan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh guru dalam memilih buku. Penggunaan buku teks merupakan cara yang paling efisien karena waktu untuk mempersiapkan bahan ajar berkurang. Di samping itu, buku menyediakan aktivitas yang sudah siap untuk dilaksanakan dan membekali siswa dengan contoh konkret.
Alasan lain bagi penggunaan buku teks ialah karena buku teks merupakan kerangka kerja yang mengatur dan menjadwalkan waktu kegiatan program pembelajaran. Di mata siswa, tidak ada buku teks berarti tidak ada tujuan. Tanpa buku teks, siswa mengira bahwa mereka tidak ditangani secara serius. Dalam banyak situasi, buku teks dapat berperan sebagai silabus. Buku teks menyediakan teks dan tugas pembelajaran yang siap pakai. Buku teks merupakan cara yang paling mudah untuk menyediakan bahan pembelajaran. Siswa tidak mempunyai fokus yang jelas tanpa adanya buku teks dan ketergantungan pada guru menjadi tinggi. Bagi guru baru yang kurang berpengalaman, buku teks berarti keamanan, petunjuk, dan bantuan. (Ansary, 2002: 2)
Alasan penggunaan buku teks seperti ini hanya berlaku jika:
(1) buku teks memenuhi kebutuhan guru dan siswa;
(2) topik-topik dalam buku teks relevan dan menarik bagi guru dan siswa;
(3) buku teks tidak membatasi kreativitas guru;
(4) buku teks disusun dengan realistik dan memperhitungkan situasi pembelajaran di kelas;
(5) buku teks beradaptasi dengan gaya belajar siswa; dan
(6) buku teks tidak menjadikan guru sebagai budak dan pelayan.
Apabila aspek-aspek ini tidak dipenuhi, maka buku teks hanya akan menjadi masses of rubbish skillfully marketed, seperti diungkapkan oleh Brumfit (Ansary 2002: 2), yang hanya akan menguntungkan secara materi bagi pihak-pihak yang dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi membisniskan buku teks, dan mencemari dunia pendidikan. Dalam hal seperti ini, sebaiknya guru dibekali dengan pengetahuan bagaimana memilih buku teks dan bagaimana mengaplikasi-kannya secara kreatif di kelas.
Sementara itu, UNESCO menggariskan tiga fungsi pokok dari buku teks, yaitu (1) fungsi informasi, (2) fungsi pengaturan dan pengorganisasian pembelajaran, dan (3) fungsi pemandu pembelajaran. (Seguin 1989:18-19).
Selanjutnya berdasarkan fungsi-fungsi ini, dapat ditentukan jenis-jenis buku yang diperlukan untuk menyertai buku teks, dalam hal ini buku pegangan untuk siswa yang juga dipegang guru dalam KBM, yang biasanya semuanya telah menjadi satu paket, yang terdiri atas (1) buku siswa, (2) buku guru, dan (3) sejumlah komponen yang meliputi: buku kerja atau buku kegiatan, materi bacaan tambahan, dan buku tes (Supriadi, 2000: 1).
Yang perlu diparhatikan adalah, ketika guru menggunakan buku teks dalam pembelajaran, guru harus tetap menerapkan pembelajaran sebagai sosok guru yang konstruktivis dengan ciri-ciri sebagai berikut.
1. Guru mendorong, menerima inisiatif, dan kemandirian siswa.
2. Guru menggunakan data atau fenomena aktual dan kontekstual sebagai sumber utama pada fokus materi pembelajaran.
3. Guru memberikan tugas-tugas kepada siswa yang terarah pada pelatihan kemampuan mengklasifikasi, menganalisis, memprediksi, dan menciptakan.
4. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguraikan isi pelajaran dan memvariasikan strategi pembelajaran.
5. Guru melakukan penelusuran pemahaman siswa terhadap suatu konsep sebelum memulai pembelajaran.
6. Guru mendorong terjadinya dialog dengan dan antarsiswa.
7. Guru mendorong siswa untuk berpikir, melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka dan mendorong siswa untuk bertanya sesama teman.
8. Guru melakukan elaborasi erhadap respons siswa, baik yang sudah benar maupun yang belum benar.
9. Guru melibatkan siswa pada pengalaman yang menimbulkan kontradiksi dengan hipotesis siswa dan mendiskusikannya.
10. Guru memberikan waktu berpikir yang cukup bagi siswa dalam menjawab pertanyaan.
11. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba menghubungkan beberapa hal yang dipelajari untuk meningkatkan pemahaman.
12. Guru mengakhiri pembelajaran dengan memfasilitasi proses penyimpulan melalui acuan yang benar.
(Diadaptasikan Brooks & Brooks, dalam Waliman, dkk. 2001)
5. Hubungan Buku Teks dan Media Pembelajaran
Sebelum mengetahui hubungan buku teks dan media pembelajaran, perlu dipahami terlebih dahulu konsep-konsep pokok yang terkait dengan media pembelajaran sebagai berikut.
a. Media pembelajaran pada hakikatnya merupakan penyalur pesan-pesan pembelajaran yang disampaikan oleh sumber pesan (guru) kepada penerima pesan (siswa) dengan maksud agar pesan-pesan tersebut dapat diserap dengan cepat dan tepat sesuai dengan tujuannya.
b. Konsep media pembelajaran tidak terbatas hanya kepada peralatan (hardware), tetapi yang lebih utama yaitu pesan atau informasi (software) yang disajikan melalui peralatan tersebut. Dengan demikian konsep media pembelajaran itu mengandung pengertian adanya peralatan dan pesan yang disampaikannya dalam satu kesatuan yang utuh.
c. Guru dapat lebih mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran melalui penggunaan media secara optimal, sebab media ini memiliki fungsi, nilai dan peranan yang sangat menguntungkan, terutama sekali mengurangi terjadinya verbalisme (salah penafsiran) terhadap bahan ajar yang disampaikan pada diri siswa.
d. Ada tiga jenis media pembelajaran yang biasa dipakai dalam pembeljaran, yaitu media visual, media audio, dan media audio-visual. Dari masing-masing jenis media tersebut terdapat berbagai bentuk media yang dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Media mana yang akan digunakan tergantung kepada tujuan yang ingin dicapai, sifat bahan ajar, ketersediaan media tersebut, dan juga kemampuan guru dalam menggunakannya.
e. Setiap media memiliki kelebihan dan keterbatasan. Oleh karena itu, tidak ada media yang dapat digunakan untuk semua situasi atau tujuan pembelajaran
f. Pemilihan media pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh guru untuk menentukan jenis media mana yang lebih tepat digunakan dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, sifat materi yang akan disampaikan, strategi yang digunakan, serta evaluasinya. Adanya pemilihan media ini disebabkan sangat banyak dan bervariasinya jenis media dengan karakteristik yang berbeda-beda.
g. Penggunaan media pembelajaran perlu memperhatikan tujuan yang ingin dicapai, sifat dari bahan ajar, karakteristik sasaran belajar (siswa), dan kondisi tempat/ruangan. Juga perlu dipertimbangkan kesederhanaannya, menarik perhatian, adanya penonjolan/penekanan (misalnya dengan warna), direncanakan dengan baik, serta memungkinkan siswa lebih aktif belajar.
Media memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut.
1. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti ketersediaan buku, kesempatan melancong, dan sebagainya. Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke objek langsung yang dipelajari, maka objeknyalah yang dibawa ke peserta didik. Objek dimaksud bisa dalam bentuk nyata, miniatur, model, maupun bentuk gambar-gambar yang dapat disajikan secara audio visual dan audial.
2. Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu objek, yang disebabkan, karena : (a) objek terlalu besar; (b) objek terlalu kecil; (c) objek yang bergerak terlalu lambat; (d) objek yang bergerak terlalu cepat; (e) objek yang terlalu kompleks; (f) objek yang bunyinya terlalu halus; (f) objek mengandung berbahaya dan resiko tinggi. Melalui penggunaan media yang tepat, maka semua objek itu dapat disajikan kepada peserta didik.
3. Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.
4. Media menghasilkan keseragaman pengamatan
5. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkret, dan realistis.
6. Media membangkitkan keinginan dan minat baru.
7. Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar.
8. Media memberikan pengalaman yang integral atau menyeluruh dari yang konkret sampai dengan abstrak
Berdasarkan konsep-konsep pokok tentang media pembelajaran di atas jelaslah bahwa buku teks merupakan salah satu jenis media pembelajaran. Hanya saja, bila dibanding dengan media pembelajaran lainnya, buku teks mempunyai fungsi “lebih” dari pada sekedar media pembelajaran. Buku teks tidak hanya sebagai “penyalur pesan” tetapi juga sebagai sumber pesan atau sebagai pengganti guru. Dengan membaca buku teks, siswa seolah-olah berhadapan dengan guru. Siswa dapat memperoleh informasi lewat buku teks, siswa dapat melakukan kegiatan sesuai dengan petunjuk yang tertuang dalam buku teks, dan siswa dapat mengukur kadar ketercapaian pembelajaran dengan cara mengerjakan tugas-tugas atau menjawab soal-soal yang terdapat dalam buku teks.
6. Hubungan Buku Teks dan Strategi Pembelajaran
Sebelum mengetahui hubungan buku teks dan strategi pembelajaran, perlu dipahami terlebih dahulu konsep-konsep pokok yang terkait dengan strategi pembelajaran sebagai berikut.
a. Belajar merupakan proses mental dan emosional atau aktivitas pikiran dan perasaan.
b. Hasil belajar berupa perubahan perilaku, baik yang menyangkut kognitif, psikomotorik, maupun afektif.
c. Belajar berkat mengalami, baik mengalami secara langsung maupun mengalami secara tidak langsung (melalui media). Dengan kata lain belajar terjadi di dalam interaksi dengan lingkungan. (lingkungan fisik dan lingkungan sosial).
d. Keterlibatan dalam pengalaman belajar mempunyai pengaruh penting terhadap pembelajaran.
e. Pembelajaran merupakan suatu sistem lingkungan belajar yang terdiri dari unsur: tujuan, bahan pelajaran, strategi, alat, siswa, dan guru.Semua unsur atau komponen tersebut saling berkaitan, saling mempengaruhi; dan semuanya berfungsi dengan berorientasi kepada tujuan
f. Suasana yang bebas dan penuh kepercayaan akan menunjang kehendak peserta didik untuk mau melaksanakan tugas sekalipun mengandung risiko.
g. Strategi yang mendalam dapat dipergunakan namun pengaruh penting terhadap beberapa aspek, seperti; usia, kematangan, kepercayaan dan penghargaan terhadap orang lain.
h. Pada umumnya pembelajaran berpengaruh kepada hal-hal khusus seperti menghargai orang lain dan bersikap hati-hati kepada yang baru dikenal.
i. Terdapat banyak pengaruh yang dapat dipelajari melalui model (contoh) sedang peserta didik berusaha menirunya.
j. Pada awal pembelajaran, langkah pertama yang perlu dilakukan ialah mengenali modalitas kita masing-masing yaitu bagaimana menyerap informasi dengan mudah. Apakah modalitas kita visual, yaitu belajar melalui apa yang dilihat, apakah auditorial yaitu belajar melalui apa yang didengar, apakah kinestetik, yaitu belajar melalui gerak dan sentuhan.
Supaya pembelajaran terjadi secara efektif perlu diperhatikan beberapa prinsip, yaitu motivasi, perhatian, aktivitas, umpan balik, dan perbedaan individu.
d. Motivasi adalah dorongan untuk melakukan kegiatan belajar, baik motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik dinilai lebih baik, karena berkaitan langsung dengan tujuan pembelajaran itu sendiri.
e. Perhatian atau pemusatan energi psikis terhadap pelajaran erat kaitannya dengan motivasi. Untuk memusatkan perhatian siswa terhadap pelajaran bisa didasarkan terhadap diri siswa itu sendiri dan atau terhadap situasi pembelajarannya.
f. Aktivitas merupakan salah satu indikator belajar. Bila pikiran dan perasaan siswa tidak terlibat aktif dalam situasi pembelajaran, pada hakikatnya siswa tersebut tidak belajar. Penggunaan metode dan media yang bervariasi dapat merangsang siswa lebih aktif belajar.
g. Umpan balik di dalam belajar sangat penting, agar siswa segera mengetahui benar tidaknya pekerjaan yang ia lakukan. Umpan balik dari guru sebaiknya yang mampu menyadarkan siswa terhadap kesalahan mereka dan meningkatkan pemahaman siswa akan pelajaran tersebut.
h. Perbedaan individual adalah individu tersendiri yang memiliki perbedaan dari yang lain. Guru hendaknya mampu memperhatikan dan melayani siswa sesuai dengan hakikat mereka masing-masing. Berkaitan dengan ini catatan pribadi setiap siswa sangat diperlukan.
Terkait dengan konsep-konsep pokok strategi pembelajaran di atas, buku teks hendaknya mampu mengomunikasikan materi dan menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran agar setiap anak dapat menyerap dan memahaminya untuk kemudian digunakan pada saat diperlukan. Hal ini hanya dapat dicapai bila penulis buku teks mengetahui karakteristik siswa yang visual, yang auditorial maupun yang kinestik.
Buku teks tradisional yang mementingkan perkembangan intelektual haruslah diubah. Buku teks modern lebih memperhatikan karakteristik kepribadian anak, baik mengenai segi emosi, sosial, jasmani maupun segi intelektualnya. Penulis buku teks berusaha dengan sengaja mengembangkan semua aspek pribadi anak dengan memberikan bahan pembelajaran yang sesuai dan dengan cara penyampaian yang bervariasi. Hal ini mengingat bahwa sebenarnya pribadi anak itu tidak dapat dipecah-pecah menjadi beberapa bagian yang terpisah-pisah. Dalam segala tindakannya manusia itu bersikap sebagai suatu keseluruhan yang utuh.
Ada Apa dengan Buku Teks?
Lewat uraian ini diharapkankan Anda mempunyai pemahaman tentang:
- pengaruh buku bagi pembacanya
- buku dalam pendidikan;
- pandangan ahli pendidikan terhadap buku teks; dan
- kondisi pemakaian buku teks.
1. Pengaruh Buku bagi Pembacanya
Pada era global ini kehidupan manusia tidak bisa melepaskan diri dari buku. Lewat buku manusia bisa bertambah wawasannya yang pada akhirnya (langsung atau tidak langsung) akan mempengaruhi pola pikir dan pola hidupnya. Bahkan, larena kuatnya pengaruh bagi kehidupan manusia, ada sekelompok ”buku” yang disebut ”the great book”, yaitu Quran, Injil, Taurat, Zabur, Weda, dan Tripitaka. Selain itu, dikenal pula ”buku-buku pengubah dunia”, yaitu Trias Politika, Das Kapital, De Principle, dan Uncle Toms Cabin.
Secara rinci D. Waples dkk. (1990) membagi pengaruh buku bagi pembacanya menjadi lima kategori, yaitu (1) pengaruh instrumental, (2) pengaruh prestise, (3) pengaruh pemantapan, (4) pengaruh estetis dan apresiatif, dan (5) pengaruh pelepasan. Buku dikatakan mempunyai pengaruh instrumental apabila lewat membaca buku itu, pembaca memperoleh informasi atau petunjuk yang dapat membantu pemecahan masalah yang ditemui dalam kehidupannya. Buku dikatakan mempunyai pengaruh prestise apabila setelah membaca buku, pembaca bisa memantapkan pola pikir, tingkah laku dan sikapnya yang pada akhirnya dapat terangkat prestise dan martabatnya. Buku dikatakan mempunyai pengaruh pemantapan (reinforcement) apabila setelah membaca buku, yang bersangkutan merasa lebih mantap dalam mengambil langkah-langkah dalam kehidupannya. Buku dikatakan dapat berpengaruh estetis dan apresiatif apabila dengan membaca buku tersebut pembaca dapat terbina daya seni (estetika) dan apresiasinya Terakhir, buku dikatakan mempunyai pengaruh pelepasan (respite) apabila dengan membaca buku, yang bersangkuan bisa melepaskan diri dari keresahan, kericuhan, dan keruwetan yang ada pada dirinya.
Pengaruh buku tersebut akan lebih terasa pada diri anak. Para ahli pendidikan berkesimpulan bahwa lewat membaca buku, anak akan berpengaruh perkembangan minat, sikap sosial, emosi, dan penalarannya. Konsekuensinya, apabila buku yang dibaca berisi hal-hal yang negatif, maka perkembangan jiwa anak juga mengarah ke negatif. Sebaliknya, apabila yang dibaca berisi hal-hal yang positif, maka perkembangan jiwa anak pun positif. Karena yang diharapkan oleh semua pihak (:orang tua, pemerintah, penddik) agar anak berkembang secara positif, persediaan buku bagi anak (buku bacaan, buku teks, dan sebagainya) haruslah buku yang memenuhi syarat positif.
Permasalahan yang segera muncul adalah buku bagaimanakah yang memenuhi syarat positif bagi anak? Buku dikatakan mempunyai syarat positif apabila mengandung hal-hal berikut, yaitu
(a) bisa memperluas wawasan anak;
(b) bisa menambah pengetahuan baru;
(c) bisa membimbing berpikir konstruktif;
(d) bisa mengarahkan kreativitas;
(e) bisa menumbuhkan sikap moral, sosial, dan agama yang baik; dan
(f) bisa menuntut ke arah kehidupan yang mandiri
Buku dikategorikan “bisa memperluas wawasan anak” apabila buku tersebut berisi informasi faktual, deskriptif, atau naratif yang belum menjadi perhatian anak. Misalnya, informasi tentang cara meminum obat, cara mandi yang betul, makanan sehat, teman yang baik, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa menambah pengetahuan baru” apabila buku tersebut berisi penjelasan tentang pengetahuan dan kelimuan sederhana yang belum diketahu anak. Misalnya, proses terjadinya gunung meletus, proses terjadinya hujan, perlunya kebersihan lingkungan, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa membimbing berpikir konstruktif” apabila buku tersebut berisi uraian atau eskripsi yang dapa merangsang anak untuk berpkir secara rasional. Misalnya, cerita tentang kerugian anak yang malas belajar, keuntungan anak yang berbaik hati, akbat anak yang ska berbohong, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa mengarahkan kreativitas” apabila buku tersebut berisi petunjuk atau pedoman paktis yang dapat diterapkan oleh anak dalam kehidupannya. Misalnya, cara membuat burung dari kertas, cara membuat lampu minyak, cara menjernihkan air, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa menumbuhkan sikap moral, sosial, dan agama yang baik” apabila buku tersebut berisi cerita faktual atau fiksi yang melibatkan tokoh-tokoh idola yang dapat dipakai sebagai cermin atau dapat ditiru dalam kehidupan anak. Misalnya, cerita pahlawan, tokoh agama, dermawan cilik, dai cilik, dan sebagainya. Terakhir, buku dikategorikan “bisa menuntut ke arah kehidupan yang mandiri” apabila buku tersebut berisi cerita tentang solusi atas problema kehidupan. Misalnya, keberhasil anak desa yang sebatang kara, kesuksesan anak cacat netra, berjuang melawan sakit menahun, dan sebagainya.Syarat-syarat itulah yang secara ideal terdapat pada buku yang layak sebagai bacaan anak.
2. Buku dalam Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, buku merupakan bagian dari kelangsungan pendidikan. Dengan buku, pelaksanaan pendidikan dapat lebih lancar. Guru dapat mengelola kegiatan pembelajaran secara efektif dan efisien lewat sarana buku. Siswa pun dalam mengikuti kegiatan belajar dengan maksimal dengan sarana buku. Bahkan, administratur pendidikan dapat mengelola pendidikan dengan efektif dan efisien dengan berpedoman ada aturan-aturan dan lebijakan yang tertuang dalam buku, misalnya pedoman pelaksanaan pendidikan dan kurikulum. Atas dasar itulah, bangsa-bangsa Eropa (yang termasuk bangsa maju) berpendapat bahwa ”education without book is unthinkable”.
Sebagai bangsa yang maju, kita patut tidak berseberangan pendapat dengan bangsa Eropa tentang buku. Buku hendaknya menjadi perhatian utama, mulai dari pengadaan (baca: penulisan), penggandaan, sampai dengan penyeberannya. Dari segi pengadaan, buku-buku yang ditulis hendaknya diarahkan pada peningkatakan wawasan dan perkembangan jiwa yang positif, tidak hanya masalah iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi juga masalah sosial dan imtak (iman dan takwa). Dengan demikian ada keseimbangan antara perkembangan pemikiran dan kejiwaaan. Inilah yang biasa disebut ”manusia utuh” itu. Dari segi penggandaan, buku-buku yang telah ditulis hendaknya diproduksi secara proporsional dan memadai. Oleh karena tu, pemerintah hendaknya mengalokasikan anggaran yang cukup untuk itu. Pihak swasta pun sebaiknya terlibat dalam penggandaan ini walaupun dalam bentuk transaksi bisnis. Dari segi penyebaran, buku yang telah digandakan hendaknya disebarkan secara merata. Jangan hanya diarahkan ke kota-kota besar saja. Daerah terpencil justru mendapatkan perhatian utama. Dengan demkian, akan terjadi pemerataan perkembangan pola pikir dan wawasan. Terkait dengan penyebaran buku ini, niat pemerintah untuk program buku murah perlu mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat.
Buku-buku yang dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan bermacam-macam. Namun demikian, apabila dilihat dari segi isi dan fungsinya, buku pendidikan setidak-tidaknyanya dapat dibedakan menjadi tujuh jenis, yaitu sebagai berikut.
Buku acuan, yaitu buku yang berisi informasi dasar tentang bidang atau hal tertentu. Informasi dasar atau pokok ini bisa dipakai acuan (referensi) oleh guru untuk memahami sebuah masalah secara teoretis.
Buku pegangan, yaitu buku berisi uraian rinci dan teknis tentang bidang tertentu. Buku ini dipakai sebagai pegangan guru untuk memecahkan, menganalisis, dan menyikapi permasalahan yang akan diajarkan kepada siswa.
Buku teks atau buku pelajaran, yaitu buku yang berisi uraian bahan tentang mata pelajaan atau bidang studi tertentu, yang disusun secara sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi pembelajaran, dan perkembangan siswa, untuk diasimilasikan. Buku ini dipakai sebagai sarana belajar dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.
Buku latihan, yaitu buku yang berisi bahan-bahan latihan untuk memperoleh kemampuan dan keterampilan tertentu. Buku ini dipakai oleh siswa secara periodik agar yang betrsangktan memiliki kemahiran dalam bidang tertentu.
Buku kerja atau buku kegiatan, yaitu buku yang difungsikan siswa untuk menuliskan hasil pekerjaan atau hasil tugas yang diberikan guru. Tugas-tugas ini bisa ditulis di buku kerja tersebut atau secara lepas.
Buku catatan, yaitu buku yang difungsikan untuk mencatat informasi atau hal-hal yang diperlukan dalam studinya. Lewat buku catatan ini siswa dapat mendalami dan memahami kembal dengan cara membaca ulang pada kesempatan lain.
Buku bacaan, yaitu buku yang memuat kumpulan bacaan, informasi, atau uraian yang dapat memperluas pengetahuan siswa tentang bidang tertentu. Buku ni dapat menunjang bidang studi tertentu dalam memberikan wawasan kepada siswa.
3. Pandangan Ahli Pendidikan terhadap Buku Teks
Kehadiran buku teks di dunia pendidikan disikapi oleh ahli pendidikan dengan berbagaimacam versi. Ada yang bersikap negatif, ada yang bersikap positif, dan adapula yan bersikap moderat. Ketiga pandangan yang berbeda ini didasari oleh alasan yang bertolak belakangsatu dengan lainnya.
Pandangan Negatif terhadap Buku Teks
Para ahli pendidikan yang bersikap negatif atau “antipati” atas kehadiran buku teks di dunia pendidikan didasarkan oleh kenyataan berikut.
Buku teks kurang memperhatikan perbedaan individual siswa. Siswa sasaran dianggap homgen sehingga bahan ajar yang ada pada buku teks tersaji tanpa memperhatikan siswa yang ”uper” dan siswa yang ”lower”.
Desain buku teks sering tidak sesuai dengan desain kurikulum pendidikan. Akibatnya, dengan menggunakan buku teks tersebut, program pendidikan yang telah dirancang dalam kurikulum tidak tercapai.
Konteks dan bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering tidak sesuai dengan kondisi dan lingkunna siswa sasaran. Apabila hal ini terjadi, buku teks akan terkesan ”memaksa” siswa untuk belajar sesuatu yang ”tidak sesuai” dengan kondisi dirinya.
Bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering bias dan basi. Ini terjadi karena antara waktu penyusunan buku teks dan waktu pemakaiannya berselang terlalu lama. Akibatnya, informasi dan masalah yang terdapat dalam buku teks sudah ”kadaluarsa”, bahkan tidak sesuai lagi dengan yang sedang dihadapi siswa.
Ahli pendidikan yang apriori terhadap kehadiran buku tekas ini adalah ahli pendidikan yang mengikuti sistem pendiikan lama.
Pandangan Positif terhadap Buku Teks
Sebaliknya, ahli pendidikan yang bersikap positif atas kehadiran buku teks didasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut.
Buku teks merupakan ”the foundation of learning in classroom”. Anggapan ini didasarkan oleh kenyataan bahwa pengajaran yang dianggap efektif dan efisien adalah pengajaran klasikal. Kalau toh ada yang individual, sangatlah bersifat khusus, karena kondisi tertentu.
Buku teks memuat bahan ajar yang sebaiknya disajikan (what to teach) dan sekuensi atau urutan cara penyajiannya. Oleh karena itu penyusunan buku teks tentu memperhatikan bahan ajar mana yang patut dan sebaiknya disajikan, termasuk tata cara penyajian yang sesuai dengan jenis bahan dan kondisi siswa sasaran.
Jangkauan,jumlah, dan jenis bahan ajar yang terdapat dalam buku teks telah relatif pasti sehingga guru memungkinkan untuk mengalokasikannya berdasarkan jadwal sekolah. Dengan demikian, lewat pemakaian buku teks dapat terkontrol dengan ketat program pengajarannya.
Paparan masalah atau pokok persoalan (subject matter) dalam buku teks relatif teliti. Ketelitian ini terlihat mulai dari proses pemilihan bahan, klasifikasi bahan, sampai dengan proses penyusunannya. Hal ini hampir tidak mungkin dilakukan guru dengan bahan ajar yang disusunnya sendiri.
Bahan ajar dalam buku teks tertata cukup baik. Ini dapat dilihat dari cara penyajian bahan ajar yang memperhatikan hierarkhi dan tataletaknya sehingga mudah dipahami siswa. Tidak semua guru memiliki keterampilan menata bahan seperti yang terdapat pada buku teks.
Buku teks cukup banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar peta, dan diagram. Alat bantu ini akan dapat mempercepat pamahaman siswa atas bahan ajar yang sedang dipelajari. Pada umumnya, alat bantu semacam itu sulit diciptakan oleh guru dalam waktu yang relatif singkat.
Kesinambungan bahan ajar dalam buku teks telah diatur sedemikian rupa oleh penyusunnya. Lebih-lebih, apabila buku tersebut merupakan buku berseri. Hal ini dapat dimaklumi, sebab sebelum penyusunan buku teks dimulai, terlebih dahulu disusun kerangka (outline) secara menyeluruh. Dengan demikian, tidak dijumpai bahan ajar yang terlepas dari yang lain. Sebaliknya, bahan-bahan itu merupakan rangkaian yang utuh.
Buku teks merupakan batu loncatan bagi siswa. Dengan menggunakan buku teks, siswa terbebas dari kegiatan mencatat yang merupakan pemborosan waktu, tenaga, dan pikiran.
Buku teks sangat membantu sekolah yang tidak memiliki perpustakaan yang lengkap. Hal ini bisa dimaklumi karena buku teks berisi serangkaian bahan ajar yang minimal harus dikuasai atau dipahami siswa. Jika tidak lewat kemasan buku teks, bahan-bahan itu tentu berada di berbagai buku sumber.
Buku teks yang dipublikasikan oleh pemerintah dan pihak swasta telah dipertimbangkan kualitasnya. Pertimbangan kualitas ini merupakan konsekuensi logis. Sebab, kalau tidak, tentu akan merugikan pihak pemerintah dan penerbit swasta itu sendiri. Para pemakai buku teks (terutama guru) tentu tidak akan menggunakan secara maksimal, bahkan tidak mau menggunakannya, apabila buku teks tersebut tidak berkualitas.
Ahli pendidikan yang mendukung sepenuhnya kehadiran buku teks ini adalah ahli pendidikan modern.
Pandangan yang Moderat terhadap Buku Teks
Kedua pandangan tersebut sebenarnya boleh dikatakan sangatlah ekstrem, baik eksrem kiri dan ekstrem kanan. Kedua pendapat itu masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Lalu, timbullah pandangan yang moderat terhadap kehadiran buku teks. Pandangan ketiga ini diilhami oleh kenyataan bahwa tidak semua buku teks menguntungkan bagi pendidikan dan tidak semua pula buku teks merugikan bagi kelangsungan pendidikan. Beberapa argumentasi berikut ini menjadi alasan bagi pandangan yang moderat terhadap buku teks.
a. ”No one textbook is the best for all situation” (Romero dalam ”What Textbook Shall We Use”. Forum 2, 1975)
Argumentasi ini bisa dimaklumi sebab pada kenyataan memang tidak ada satu pun buku teks yang ampuh untuk semua situasi dan kondisi. Namun demikian, keterbatasan ini tidak boleh dipakai sebagai “kambing hitam” untuk tidak menggunakan buku teks. Keterbatasan ini harus diantisipasi guru pada saat mengasimilasikannya di kelas. Yang peru dipahami adalah buku teks merupakan sarana untuk mencapai tujuan pengajaran dan buku teks bukanlah pengajaran. Oleh karena itu, buku teks tidak bisa mengajar. Yang bisa mengajar adalah guru lewat sarana antara lain buku teks.
b. Tidak ada buku teks yang betul-betul bisa memenuhi harapan kurikulum. (J. N. Hook, 1965).
Pernyataan ini pun bisa dimaklumi. Memang tidak ada satu pun buku teks yang bisa memenuhi kebutuhan kurikulum secara total. Buku teks hanyalah salah satu sarana bukan satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan kurikulum. Walaupaun Garis-garis besar Program pengajaran (GBPP) atau silabus pada kurikulum tertentu dipakai sebagai acuan penyusunan bahan ajar pada buku teks, tetap tidak bisa menjamin bahwa buku teks dapat memenuhi kebutuhan kurikulum secra total. Sebab, faktor-faktor lain di luar buku teks juga ikut menentukannya, yaitu guru pemakai buku teks, siswa sasaran, situasi dan kondisi sekolah, dan aspek-aspek lainnya.
c. Tidak ada satu pun buku teks yang cocok untuk semua jenjang pendidikan.
Pernyataan ini tidak mengada-ada, bahkan bisa dimakluminya. Buku teks memang disusun dengan mempertimbangkan program tertentu, jenjang pendidikan tertentu, dan pola pikir siswa tertentu. Akibatnya, buku teks hanya cocok untuk “sasaran” tetentu saja.
Pandangan ketiga inilah yang memandang buku teks secara lebih objektif dan rasional. Sebab, buku teks akan berpran secara maksimal apabila memenuhi criteria ideal dan diasimilasikan oleh guru yang professional.
4. Kondisi Pemakaian Buku Teks
Selama ini terdapat anggapan dari sebagian besar masyarakat (khususnya komunitas pendidikan) bahwa buku teks sebagai penunjang pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas dikelompokkan menjadi dua, yaitu buku teks wajib dan buku teks penunjang. Buku teks wajib (juga biasa disebut buku paket) adalah buku teks yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional. Sementara itu, buku teks penunjang (juga biasa disebut buku pelengkap) adalah buku teks yang diterbitkan oleh penerbit swasta. Pendapat seperti itu sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmuan sebab kedua ”jenis” buku teks tersebut sama-sama berorientasi kepada kurikulum yang sedang berlaku, baik dari segi pendekatan, isi, maupun strateginya. Karena orientasinya sama, kedua jenis buku teks itu sebenarnya mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama dalam menunjang pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Anggapan dekotomis tersebut sebenarnya dipicu oleh kebijakan ”politis” pemerintah (sebelum era Reformasi) bahwa bahwa buku teks wajib mempunyai kedudukan ”utama”, sedangkan buku teks penunjang ini mempunyai kedudukan ”pelengkap”. Kebijakan pemerintah ini didasari pertimbangan bahwa apabila buku teks wajib ini kalah pengaruhnya dengan buku teks penunjang, akan berdampak pada keheterogenan hasil belajar siswa. Apabila keadaan ini terjadi, tentu akan menyulitkan pemerintah dalam menentukan sandardisasi kualitas atau keberhasilan belajar siswa. Kebijakan semacam ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila buku teks yang beredar (baik yang dterbitkan oleh pemerintah maupun swasta) telah mendapat kontrol lewat penilaian terlebih dahulu oleh lembaga yang kompeten atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah, lewat Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP).
Dilihat dari penyusunnya, buku teks wajib ini biasanya disusun oleh tim yang para anggotanya tentunya mempunyai kualitas yang dipersyaratkan. Bahkan, sebelum buku teks wajib ini diterbitkan, terlebih dahulu ditelaah kualitas atau kevaliditasannya baik dari segi isi, strategi, dan bahasa dalam forum lokakarya. Sementara itu, buku teks penunjang yang diterbitkan oleh swasta biasanya ditulis oleh penulis (baik sendiri mapun kelompok) yang berminat atau yang mempunyai pengalaman terhadap bidang pelajaran tertentu. Karena pertimbangan pasar, buku yang ditulisnya selain disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku, juga disesuaiakan dengan keinginan pasar. Bahkan, hal-hal tertentu yang dianggap lemah atau sumbeng dalam buku teks wajib akan dibenahi atau dilengkapi dalam buku teks penunjang ini.
Sebagai konsekuensinya, buku teks wajib yang diterbitkan oleh pemerintah disebarkan secara cuma-cuma ke sekolah-sekolah seluruh Indonesia. Hanya saja, jumlah buku yang disebarkan jauh di bawah kebutuhan siswa. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1994), misalnya, pernah mengakui bahwa karena keterbatasan dana, buku teks wajib yang disebarkan hanyalah 20% dari kebutuhan real. Ini berarti masih 80% yang belum bisa terlayani buku teks wajib. Di sinilah peran buku teks penunjang bisa berkiprah untuk ”menggantikan” posisi buku teks wajib. Kesempatan ini rupanya dimanfaatkan baik-baik oleh penerbit swasta untuk mengisi kekosongan tersebut.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, buku teks yang beredar (baik buku teks wajib maupun penunjang) dijumpai keganjilan-keganjilan. Keganjilan yang dimaksud terlihat sebagai berikut.
- Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan kurikulum.
- Terdapat buku teks yang berisi pokok-pokok materi (semacam ringkasan).
- Terdapat buku teks yang uraiannya sangat teknis.
- Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan pola pikir siswa.
- Terdapat buku teks yang kurang ”aplicable”.
Perhatian khusus terhadap keganjilan buku teks ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan arti buku teks dalam dunia pendidikan, tetapi justru untuk memacu peningkatan kualitas buku teks setelah dikaitkan dengan kedudukan dan fungsinya yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembelajran siswa di kelas.
Semenjak pemberlakuan kurikulum 1984 sampai dengan sekarang (Kurikulum 2006 atau KTSP) kehadiran buku teks sebagai penunjang pelaksanaan pembelajaran cukup dominan bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perhatian serius pemerintah terhadap dunia pendidikan dan minat dominan penerbit swasta terhadap penerbitan buku teks. Keberagaman buku teks yang beredar haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kalangan pendidikan, terutama guru. Sebab, dengan demikian, guru bisa memilih dengan leluasa: mana buku teks yang mempunyai kriteria ideal baik dilihat dari kesesuaiannya dengan kurikulum, kesesuaiannya bagi siswanya, maupun tingkat dan daya aplikasinya.
Di sisi lain, di lapangan dijumpai adanya anggapan bahwa buku teks wajib merupakan ”buku suci”. Anggapan yang ekstrem ini sebenarnya tidak perlu terjadi, sebab pada dasarnya tidak ada satu pun buku teks, termasuk buku teks wajib, yang ampuh untuk segala-galanya: kapan dan di mana saja. Sebab, pada saat diaplikasikan, buku teks (termasuk yang wajib) masih tetap perlu disiasati guru sebelum dipakai dalam pembelajaran. Misalnya, apakah sajian bahan ajarnya sudah sesuai dengan GBPP atau Kompetensi Dasar yang ingin dicapai; apakah strategi penyampaiannya sudah sesuai dengan pembelajaran yang disarankan Kurikulum, apakah pola pengembangan bahan ajar sesuai dengan perkembangan siswa, dan sebagainya, dan sebagainya.
Selain itu, masih dijumpai juga pelaksanaan pembelajaran yang berorientasi penuh kepada buku teks, tanpa melihat kurilulum (khususnya GBPP dan silabus yang telah dirancang) yang menjadi acuannya. Ketergantungan guru ini dibuktikan dengan gejal-gejala berikut.
- Guru menerangkan satu per satu uraian bahan ajar yang ada pada buku teks, tanpa melihat pokok bahasan yang terdapat dalam GBPP atau silabus.
- Guru melakukan langkah-langkah pembelajaran yang tertuang dalam buku teks, tanpa melihat kesesuaiannya dengan pembelajaran yang disarankan dalam GBPP atau silabus.
- Guru mengembangkan rencana atau skenario pembelajaranb dari bahan ajar yang terdapat dalam buku teks, tanpa melihat tujuan pembelajaran (kompetensi dasar yang ingin dicapai) dan bahan ajar (pokok bahasan) yang terdapat dalam GBPP atau silabus.
- Butir-butir evaluasi pun diambilkan dari pertanyaan atau tugas yang terdapat dalam buku teks tanpa ada upaya menghubungkannya dengan atau mengembangkan dari tujuan pembelajaran atau indikator dari kompetensi dasar yang telah ditentukan.
Keadaan yang timpang ini tentunya patut dicari penyebabnya. Sehubungan dengan itu, Mills dan Doeglass (1957:255-263) menyebutkan secara rinci faktor penyebab ketergantungan guru terhadap buku teks sebagai berikut.
- Guru kurang dipersiapkan secara matang tehadap subjek yang diajarkan.
- Guru lebih banyak diberikan problematik bidang studi di tingkat perguruan tinggi, tetapi sangat kurang disajikan problematik yang relevan denagn sekolah tempat mereka mengajar.
- Guru kurang dilatih merencanakan bahan pembelajaran.
- Tradisi yang menganggap bahw buku teks sebagai sumber lengkap yang siap disajikan masih sangat dominan.
- Pengaruh penggunaan tes baku sebagai alat pengukur prestasi belajar.
Kelima faktor penyebab itu haruslah diantisipasi oleh pihak yang bertanggung jawab, baik oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (c. q. Direktorat Sarana Pendidikan) maupun oleh lembaga pendidkan tenaga kependidikan (LPTK), agar tidak terjadi ketimpangan yang berkelanjutan.
Sabtu, 04 Oktober 2008
HAKIKAT DAN FUNGSI BUKU TEKS
Sebagaimana tersebut pada bagian sebelumnya bahwa buku teks merupakan salah satu jenis buku pendidikan. Buku teks adalah buku yang berisi uraian bahan tentang mata pelajaran atau bidang studi tertentu, yang disusun secara sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi pembelajaran, dan perkembangan siswa, untuk diasimilasikan.
Rumusan senada juga disampaikan oleh A.J. Loveridge (terjemahan Hasan Amin) sebagai berikut.
”Buku teks adalah buku sekolah yang memuat bahan yang telah diseleksi mengenai bidang studi tertentu, dalam bentuk tertulis yang memenuhi syarat tertentu dalam kegiatan belajar mengajar, disusun secara sistematis untuk diasimilasikan.”
Chambliss dan Calfee (1998) menjelaskannya secara lebih rinci. Buku teks adalah alat bantu siswa untuk memahami dan belajar dari hal-hal yang dibaca dan untuk memahami dunia (di luar dirinya). Buku teks memiliki kekuatan yang luar biasa besar terhadap perubahan otak siswa. Buku teks dapat mempengaruhi pengetahuan anak dan nilai-nilai tertentu.
Sementara itu Direktorat Pendidikan Menengah Umum (2004: 3) menyebutkan bahwa buku teks atau buku pelajaran adalah sekumpulan tulisan yang dibuat secara sistematis berisi tentang suatu materi pelajaran tertentu, yang disiapkan oleh pengarangnya dengan menggunakan acuan kurikulum yang berlaku. Substansi yang ada dalam buku diturunkan dari kompetensi yang harus dikuasai oleh pembacanya (dalam hal ini siswa).
Pusat Perbukuan (2006: 1) menyimpulkan bahwa buku teks adalah buku yang dijadikan pegangan siswa pada jenjang tertentu sebagai media pembelajaran (instruksional), berkaitan dengan bidang studi tertentu. Buku teks merupakan buku standar yang disusun oleh pakar dalam bidangnya, biasa dilengkapi sarana pembelajaran (seperti pita rekaman), dan digunakan sebagai penunjang program pembelajaran.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005 menjelaskan bahwa buku teks (buku pelajaran) adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan.
Dari kelima rumusan itu kiranya dapat diketahui indikator atau ciri penanda buku teks sebagai berikut.
Buku teks merupakan buku sekolah yang ditujukan bagis siswa pada jenjang pendidikan tertentu.
Buku teks berisi bahan yang telah terseleksi.
Buku teks selalu berkaitan dengan bidang studi atau mata pelajaran tertentu
Buku teks biasanya disusun oleh para pakar di bidangnya
Buku teks ditulis untuk tujuan instruksional tertentu.
Buku teks biasanya dilengkapi dengan sarana pembelajaran.
Buku teks disusun secara sistematis mengikuti strategi pembelajaran tertentu.
Buku teks untuk diasmilasikan dalam pembelajaran.
Buku teks disusun untuk menunjang program pembelajaran.
Dari butir-butir indikator tesebut, buku teks mempunyai ciri tersendiri bila dibanding dengan buku pendidikan lainnya, baik dilihat dari segi isi, tataan, maupun fungsinya. Dilihat dari segi isinya, buku teks merupakan buku yang berisi uraian bahan ajar bidang tertentu, untuk jenjang pendidikan tertentu, dan pada kurun ajaran tertentu pula. Dilihat dari segi tataanya, buku teks merupakan sajian bahan ajar yang mempertimbangkan faktor (1) tujuan pembelajaran, (2) kurikulum dan struktur program pendidikan, (3) tingkat perkembangan siswa sasaran, (4) kondisi dan fasilitas sekolah, dan (5) kondisi guru pemakai. Dari segi fungsinya, selain mempunyai fungsi umum sebagai sebagai sosok buku, buku teks memupunyai fungsi sebagai (1) sarana pengembang bahan dan program dalam kurikulum pendidikan, (2) sarana pemerlancar tugas akademik guru, (3) sarana pemerlancar ketercapaian tujuan pembelajaran, dan (4) sarana pemerlancar efisiensi dan efektivitas kegiatan pembelajaran.
Secara teknis Geene dan Pety (dalam Tarigan, 1986: 21) menyodorkan sepuluh kategori yang harus dipenuhi buku teks yang berkualitas. Sepuluh kategori tersebut sebagai berikut.
- Buku teks haruslah menarik minat siswa yang mempergunakannya.
- Buku teks haruslah mampu memberikan motivasi kepada para siswa yang memakainya.
- Buku teks haruslah memuat ilustrasi yang menarik siswa yang memanfaatkannya.
- Buku teks seyogyanya mempertimbangkan aspek-aspek linguistik sehingga sesuai dengan kemampuan para siswa yang memakainya.
- Isi buku teks haruslah berhubungan erat dengan pelajaran-pelajaran lainnya, lebih baik lagi kalau dapat menunjangnya dengan terencana sehingga semuanya merupakan suatu kebulatan yang utuh dan terpadu.
- Buku teks haruslah dapat menstimuli, merangsang aktivitas-aktivitas pribadi para siswa yang mempergunaknnya.
- Buku teks haruslah dengan sadar dan tegas menghindar dari konsep-konsep yang samar-samar dan tidak biasa, agar tidak embuat bingung siswa yang memakainya.
- Buku teks haruslah mempunyai sudut pandang atau ”point of view” yang jelas dan tegas sehingga ada akhirnya juga menjadi sudut pandang para pemakainya yang setia.
- Buku teks haruslah mamu memberi pemantapan, penekanan pada nilai-nilai anak dan orang dewasa.
- Buku teks haruslah dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi para pemakainya.
Sepuluh kategori yang disodorkan Geene dan Petty tersebut pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketiga ciri buku teks yang disampaikan sebelumnya. Dikatakan demikian, karena butir-butir kategori tersebut bisa dimasukkan ke dalam tiga ciri buku teks.
Sebagai kelengkapan kategori tersebut, Schorling dan Batchelder (1956) memberikan empat ciri buku teks yang baik, yaitu
(1) direkomendasikan oleh guru-guru yang berpengalaman sebagai buku teks yang baik;
(2) bahan ajarnya sesuai dengan tujuan pendidikan, kebutuhan siswa, dan kebutuhan masyarakat;
(3) cukup banyak memuat teks bacaan, bahan drill dan latihan/tugas; dan
(4) memuat ilustrasi yang membantu siswa belajar.
Sebagai buku pendidikan, buku teks memainkan peranan penting dalam pembelajaran. Dengan buku teks, program pembelajaran bisa dilaksanakan secara lebih teratur, sebab guru sebagai pelaksana pendidikan akan memperoleh pedoman materi yang jelas. Terhadap pentingnya buku teks ini, Grambs, J. D. dkk. (1959) menyatakan”The textbook is one of the teacher’s major tools in guiding learning”.
Sementara itu, Hubert dan Harl menyoroti nilai lebih buku teks bagi guru sebagai berikut.
- Buku teks memuat persediaan materi bahan ajar yang memudahkan guru merencanakan jangkauan bahan ajar yang akan disajikannya pada satuan jadwal pengajaran (mingguan, bulanan, caturwulanan, semesteran).
- Buku teks memuat masalah-masalah terpenting dari satu bidang studi.
Buku teks banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar, skema, diagram, dan peta. - Buku teks merupakan rekaman yang permanen yang memudahkan untuk mengadakan review di kemudian hari.
- Buku teks memuat bahan ajar yang seragam, yang dibutuhkan untuk kesamaan evaluasi, dan juga kelancaran diskusi.
- Buku teks memungkinkan siswa belajar di rumah.
- Buku teks memuat bahan ajar yang relatif telah tertata menurut sistem dan logika tertentu.
- Buku teks membebaskan guru dari kesibukan mencari bahan ajar sendiri sehingga sebagian waktunya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain.
Bagi siswa sasaran, buku teks akan berpengaruh terhadap kepribadiannya, walaupun pengaruh itu tidak sama antara siswa satu dengan lainnya. Dengan membaca buku teks, siswa akan dapat terdorong untuk berpikir dan berbuat yang positif, misalnya memecahkan masalah yang dilontarkan dalam buku teks, mengadakan pengamatan yang disarankan dalam buku teks, atau melakukan pelatihan yang diinstruksikan dalam buku teks. Dengan adanya dorongan yang konstruktif tersebut, maka dorongan atau motif-motif yang tidak baik atau destruktif akan terkurangi atau terhalangi. Oleh karena itu benar apa yang dikatakan oleh Musse dkk (1963:484) bahwa pengaruh buku teks terhadap anak bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) dapat mendorong perkembangan yang baik dan (2) menghalangi perkembangan yang tidak baik.
Sebagai pemantapan tentang fungsi buku teks, Loveridge menyatakan sebagai berikut:
“Pelajaran dalam kelas sangat bergantung pada buku teks. Dalam keadaan guru tidak memenuhi syarat benar, maka buku teks merupakan pembimbing dan penunjang dalam mengajar. Bagi murid, buku teks bertugas sebagai dasar untuk belajar sistematis, untuk memperteguh, mengulang, dan untuk mengikuti pelajaran lanjutan.”
Bagi orang tua pun buku teks mempunyai peran tersendiri. Dengan buku teks orang tua bisa memberikan arahan kepada anaknya apabila yang bersangkutan kurang memahami materi yang diajarkan d sekolah. Dari keadaan ini orang tua akhirnya bisa mengetahui daya serap anaknya terhadap materi mata pelajaran tertentu. Apabila daya serapnya kurang, perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan; dan apabila daya serapnya baik, perlu juga dilakukan langkah-langkah pemantapan atau pengayaan.
Pada sisi lain, buku teks dapat dipandang sebagai simpanan pengetahuan tentang berbagai segi kehidupan (Pusat Perbukuan, 2005). Karena sudah dipersiapkan dari segi kelengkapan dan penyajiannya, buku teks itu memberikan fasilitas bagi kegiatan belajar mandiri, baik tentang substansinya maupun tentang caranya. Dengan demikian, penggunaan buku teks merupakan bagian dari upaya pencipataan ”budaya buku” bagi siswa, yang menjadi salah satu indikator dari masyarakat yang maju.
Dipandang dari hasil belajar, buku teks mempunyai peran penting. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa buku teks berperan secara maknawi dalam prestasi belajar siswa. Laporan World Bank (1995) mengenai Indonesia, misalnya, ditunjukkan bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku dan fasilitas lain berkorelasi positif dengan prestasi belajar siswa. Di Filipina, peningkatan rasio kepemilikan buku siswa dari 1 : 10 menjadi 1 : 2 di kelas 1 dan 2 secara signifikan meningkatkan hasil belajar siswa (World Bank, 1995). Pernyataan tersebut diperkuat oleh Supriadi (2000) yang menyatakan bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku berkorelasi positif dan bermakna dengan prestasi belajar.
Dipandang dari proses pembelajaran pun demikian. Untuk mencapai kompetensi yang ingin dicapai dalam pembelajaran, siswa perlu menempuh pengalaman dan latihan serta mencari informasi tertentu. Salah satu alat yang efektif untuk mencapai kompetensi tersebut adalah lewat penggunaan buku teks. Sebab, pengalaman dan latihan yang perlu ditempuh dan informasi yang perlu dicari, begitu pula tentang cara menempuh dan mencarinya, tersaji dalam buku teks secara terprogram.
Walaupun buku teks diperuntukkan bagi siswa, guru pun dapat memanfaatkannya. Pada waktu memberikan pembelajaran kepada siswa, guru dapat mempertimbangkan pula apa yang tersaji dalam buku teks. Namuk demikian, guru tetap memiliki kebebasan dalam memilih, mengembangkan, dan menyajikan materi pembelajaran. Semua itu merupakan wewenang dan tanggung jawab profesionalitas guru.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa keberadaan buku teks sangat fungsional baik bagi kelancaran pengelolaan kelas, bagi guru, bagi siswa, maupun bagi orang tua.
Rencana Perkuliahan Semester (RPS)
Sandi MK : INB420
SKS/JS : 3/4
Prasyarat : INB418
Pembina : Drs. Masnur Muslich, M.Si
Sandi Dosen : 802124
DESKRIPSI
Matakuliah ini berusaha menumbuhkan pengetahuan, pemahaman, dan penguasa-an mahasiswa tentang penulisan buku ajar atau bahan ajar untuk pembelajaran bahasa Indinesia di berbagai tingkat satuan pendidikan atau buku ilmiah dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia.
TUJUAN
Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa dapat menghasilkan buku ajar untuk pembelajaran bahasa Indonesia di TK, SD, SLTP/MTs, SMA/MA/SMK atau bahan untuk berbagai pelatihan atau buku ilmiah dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia.
TOPIK DAN SUBTOPIK
- Karakteristik buku ajar/buku ilmiah: pengertian buku ajar/buku ilmiah, perbedaan buku ajar dan buku ilmiah, perbedaan buku ajar dan bahan aja
- Hubungan buku ajar dan komponen pembelajaran: hubungan buku ajar dan kurikulum, hubungan buku ajar dan kompetensi yang ingin dicapai (tujuan pembelajaran), hubungan buku ajar dan siswa, hubungan buku ajar dan guru, hubungan buku ajar dan media pembelajaran, hubungan buku ajar dan metode/teknik/strategi pembelajaran,
- Landasan penyusunan buku ajar bahasa dan sastra Indonesia: Landasan keilmuan bahasa dan sastra, landasan ilmu pendidikan dan keguruan, landasan kebutuhan bahasa siswa, landasan keterbacaan materi dan bahasa yang digunakan
- Komponen buku ajar (versi BSNP): komponen isi, komponen kebahasaan, komponen komponen penyajian, dan komponen kegrafikan
- Teknik dan prosedur penulisan buku ajar/buku ilmiah: pengkajian kurikulum, penyusunan silabus, pengkajian keilmuan bahasa dan sastra Indonesia, pemahaman karakteristik siswa dan guru, pengorganisasian buku, pemilihan bahan/materi, penyajian bahan/materi, penggunaan bahasa dan keterbacaan
- Problema penulisan buku ajar/buku ilmiah dan pemecahannya: identifikasi permasalahan setiap tahapan penulisan buku ajar dan upaya pemecahannya
EVALUASI
Nilai akhir (NA) mahasiswa ditetapkan berdasarkan:
(a) kuantitas dan kualitas pertisipasi dalam perkuliahan (bobot 2)
(b) hasil tugas harian individu (bobot 2)
(c) hasil tugas harian kelompok dan pertangungjawabannya (bobot 3)
(d) hasil tugas akhir individu dan pertanggungjawabannya (bobot 3)
NA ditetapkan berdasarkan rumus:
NA = (a X 2) + (b X 2) + (c X 3) + (d X 3): 10
SUMBER/RUJUKAN
- Brown, J.B. 1988. Textbook Evaluation Form. http://www.timetabler.com/reading. html. (12/07/07).
- Cunningsworth, Alan. 1995. Coosing your Coursebook. Oxford: Heinemann.
- Depdiknas. 2004. Pedoman Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
- Houtz, H.E. 1995. “Score Sheet for Selecting Textboks.” Dalam Reading for Today’s Children. New York: Macmillan.
- Johnson, K. 2002. Selecting Coursebook. http://www.timetabler.com/reading.html. (12/07/07).
- Muslich, Masnur. 2008. Dasar-dasar Pemahaman, Penulisan, Pemakaian Buku Teks, dan Penilaian Buku Teks. Jakarta: Bumi Aksara.
- O’Neill, R. 1990. “Why Use Texboks?” Dalam R. Rossner and R. Bolitho (Eds.). Currents in Langauge Teaching. Oxford University Press.
- Pusat Perbukuan. 2006. Pedoman Penulisan Buku Pelajaran: Penjelasan Standar Mutu Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
- Sumardi. 2003. Model Buku Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas 4: Panduan Pengembangan. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
- World Bank. 1995. Indonesia: Book and Reading Development Project, Staff, Appraisal, May.
- Yulaelawati, Ella. Dkk. 1994. Penulisan Bahan-bahan Pelajaran: Buku Acuan bagi para Penulis Bahan-bahan Pelajaran dan Buku-buku Panduan Guru. Jakarta: Pusat
- Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
JADWAL PERTEMUAN
Minggu I
Karakteristik buku ajar: pengertian buku ajar/buku ilmiah, perbedaan buku ajar dan buku ilmiah, perbedaan buku ajar dan bahan ajar
Minggu II
Hubungan buku ajar dan komponen pembelajaran: hubungan buku ajar dan kurikulum, hubungan buku ajar dan kompetensi yang ingin dicapai (tujuan pembelajaran), hubungan buku ajar dan siswa, hubungan buku ajar dan guru, hubungan buku ajar dan media pembelajaran, hubungan buku ajar dan metode/teknik/strategi pembelajaran,
Minggu III
Landasan penyusunan buku ajar bahasa dan sastra Indonesia: Landasan keilmuan bahasa dan sastra, landasan ilmu pendidikan dan keguruan, landasan kebutuhan bahasa siswa, landasan keterbacaan materi dan ba-hasa yang digunakan
Minggu IV
Komponen buku ajar (versi BSNP):
komponen isi(: cakupan materi, akurasi mate-ri, kemutakhiran, mengandung wawawsan produktivitas, merangsang keingintahuan, mengembangkan kecakapan hidup, mengembangkan wawasan kebinekaan, mengandung wawasan kontekstual); komponen kebahasa-an (: sesuai dengan perkembangan peserta didik), komunikatif, dialogis dan interaktif, lugas, keruntutan alur pikir, koherensi, kese-suaian dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar, penggunaan istilah dan simbol atau lambang); komponen komponen penyajian (:teknik penyajian, pendukung penyajian materi, penyajian pembelajaran); dan komponen kegrafikan (: penampilan, tata letak, ilustrasi, keterbacaan huruf).
Minggu V-XV
Teknik dan prosedur penulisan buku ajar: pengkajian kurikulum, penyusunan silabus, pengkajian keilmuan bahasa dan sastra Indonesia, pemahaman karakter-istik siswa dan guru, pengorganisasian buku, pemilihan bahan/materi, penyajian bahan/ materi, penggunaan bahasa dan keterbacaan
Minggu XVI
Problema penulisan buku ajar dan pemecahannya: identifikasi permasalahan setiap tahapan penulisan buku ajar dan upaya pemecahannya
Malang, Agustus 2008
Pembinan MK
Drs. Masnur Muslich, M.Si.