Pada akhir Semester Ganjil 2008/2009 (3 Januari 2009) mahasiswa peserta matakuliah Menulis Buku Ajar yang dibina oleh Masnur Muslich, Program Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang, mengadakan Seminar "Kiat Sukses Menulis Buku Ajar". Seminar yang menghadirkan pakar di bidang buku ajar dan penulis berkaliber nasional ini juga dihadiri para guru di Malang Raya dan sekitarnya. Kegiatan yang dibuka oleh Dekan Fakultas Sastra Prof. Dr. H. Dawud, M.Pd ini diikuti dengan unjuk kerja berupa Pameran buku ajar bahasa Indonesia untuk SD, SMP, dan SMA/SMK hasil karya mahasiswa peserta matakuliah. Dengan melihat puluhan buku ajar hasil karya mahasiswa ini sebagian besar peserta seminar (terutama guru) memberikan apresiasi yang sangat posisit, bahkan kagum atas prestasi mereka. Rencana ke depan, agenda ini akan diprogramkan secara berkala. Sebab, selain sebagai ajang tukar pendapat antara mahasiswa dan guru, juga dapat memberikan wawasan praktis bagi mahasiswa terkait dengan penulisan buku ajar.
a. Panitia seminar (mahasiswa yang ditunjuk oleh kelas) sedang membicarakan tugas dan tanggung jawab setiap seksi sebelum pelaksanaan seminar. Walaupun tempatnya di bawah pohon, mereka tetap antusias.
b. Panitia sedang bersiap menerima pendaftaran ulang seminar.
c. Prof. Dr. H. Dawud, M.Pd sedang memberikan materi seminar
d. Peserta seminar sedang serius menyimak dan sharing pendapat atas uraian nara sumber
e. Buku-buku hasil karya mahasiswa yang dipamerkan
f. Masnur Muslich (pembina matakluliah Menulis Buku Ajar) sedang memberikan piagam penghargaan kepada nara sumber dan moderator
g. Dr. Maryaeni (Ketua Jurusan Sastra Indonesia) memberikan sambutan penutupan acara seminar
Kamis, 19 Maret 2009
Rabu, 18 Maret 2009
Textbook Writing: Dasar-dasar Pemahaman, Penulisan, dan Pemakaian Buku Teks
Prakata
Kehadiran buku bertajuk Textbook Writing: Dasar-dasar Pemahaman, Penulisan, dan Pemakaian Buku Teks ini didasari pertimbangan berikut. Pada dua dasa warsa terakhir ini dunia pendidikan pada semua satuan tingkat pendidikan disuguhi buku teks yang sangat bervariasi baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Akibatnya, guru, sekolah, masyarakat (baca: orangtua) dihadapkan pada kebingungan pilihan: buku mana yang layak dipakai untuk siswa. Kebingungan ini akan sirna – setidak-tidaknya terkurangi – apabila guru, sekolah, masyarakat memahami kriteria sosok buku teks yang ideal.
Kedua, ketika penulis beberapa kali mengelola lokakarya penulisan buku teks yang diikuti oleh para penulis dari berbagai bidang studi, masalah yang selalu muncul dari para peserta adalah bagaimana menulis buku teks yang sesuai dengan “kehendak” kurikulum, enak dibaca, dan menonjolkan keaktifan siswa. Permasalahan ini terbukti ketika penulis diberi kepercayaan beberapa penerbit untuk mengevaluasi dan mengedit naskah buku teks yang masuk ke penerbit. Permasalahan yang muncul adalah seputar hal-hal berikut: sajian materinya masih jauh dari kehendak kurikulum, sajian bahasanya masih berorientasi pada penulis sendiri dan belum berientasi pada pembaca (siswa sasaran), dan kemasan materinya tidak jauh berbeda dengan kemasan buku referensi atau buku bacaan pada umumnya. Kondisi ini tentu tidak akan terjadi apabila penulis buku teks memahami penulisan buku teks secara benar.
Ketiga, ketika membina matakuliah Menulis Buku Teks di Program Pendidikan Bahasa Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (dahulu IKIP Malang) selama lebih kurang sepuluh tahun, penulis berhasil menghimpun hand out untuk bacaan mahasiswa. Penulis pun akhirnya mengetahui dan dapat menditeksi kebutuhan mahasiswa ketika harus dihadapkan pada tugas menulis buku teks. Himpunan hand out dan pengalaman penulis itulah kiranya perlu penulis tularkan kepada para dosen yang mengampu matakuliah Menulis Buku Teks pada Program Pendidikan di perguruan tinggi, para mahasiswa yang menempuh matakuliah Menulis Buku Teks, para guru yang ingin mengembangkan profesinya lewat penulisan buku teks sesuai dengan mata pelajaran yang dibinanya, dan para penulis buku teks pada umumnya.
Dalam rangka pencapaian kompetensi pembaca, setiap materi sajian buku ini diikuti dengan “kutipan permasalahan” yang ditemukan di lapangan sebagai bahan diskusi atau perenungan. Dengan cara demikian, pembaca buku ini diharapkan memperoleh pemahaman yang optimal.
Terakhir, ucapkan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang karya-karyanya terkutip dalam buku ini yang semata-mata demi memperjelas wawasan pembaca. Atas keikhlasannya, sekali lagi penulis ucapkan terima kasih. Semoga upaya ini ada guna dan manfaatnya bagi para “pahlawan pendidikan” demi masa depan anak bangsa.
Malang, 22 Februari 2009
Masnur Muslich
Daftar Isi
1. Ada Apa dengan Buku Teks?
1.1 Pengaruh Buku bagi pembacanya
1.2 Buku dalam Pendidikan
1.3 Pendangan Ahli Pendidikan terhadap Buku Teks
1.4 Kondisi Pemakaian Buku Teks
2. Apa dan Bagaimana Buku Teks
2.1 Hakikat dan Fungsi Buku Teks
2.2 Karakteristk Buku Teks
2.3 Sosok Buku Teks.
3. Hubungan Buku Teks dan Komponen Pembelajaran
3.1Hubungan Buku Teks dan Kurikulum
3.2Hubungan Buku Teks dan Tujuan Pembelajaran
3.3Hubungan Buku Teks dan Siswa
3.4Hubungan Buku Teks dan Guru
3.5Hubungan Buku Teks dan Media Pembelajaran
3.6 Hubungan Buku Teks dan Strategi Pembelajaran.
4. Apa Landasan Penulisan Buku Teks
4.1 Landasan Keilmuan
4.2 Landasan Ilmu Pendidikan dan Keguruan
4.3 Landasan Kebutuhan Siswa
4.4 Landasan Keterbacaan Materi dan Bahasa yang Digunakan.
5. Apa dan Bagaiamana Langkah Penulisan Buku Teks
5.1 Analisis Kebutuhan Buku Teks
5.2 Penyusunan Peta Bahan Ajar
5.3 Penyusunan Buku Teks.
6. Apa dan Bagaimana Pemilihan dan Pemakaian Buku Teks
6.1 Landasan Umum Pemilihan dan Pemakaian Buku Teks
6.2 Langkah-Langkah Pemilihan Buku Teks
6.3 Langkah-Langkah Pemakaian Buku Teks
7. Apa dan Bagaimana Penilaian Buku Teks
7.1 Penilaian Kelayakan Isi
7.2 Penilaian Kelayakan Penyajian
7.3 Penilaian Kelayakan Bahasa
7.4 Penilaian Kelayakan Grafika
8. Apa saja Problema Seputar Buku Teks
8.1 Permasalahan Terkait dengan Fungsi Buku Teks
8.2 Permasalahan Terkait dengan Peraturan Pemakaian Buku Teks
8.3 Permasalahan Terkait dengan Dampak Peraturan Pemakaian Buku Teks
8.4 Permasalahan Terkait dengan Dampak Pemakaian Buku teks
8.5 Permasalahan Terkait dengan Monopoli Buku Teks
Pustaka Acuan
Lampiran
Bab 1 Ada Apa dengan Buku Teks?
Lewat membaca uraian pada Bab 1 ini diharapkankan Anda mempunyai pemahaman tentang hal-hal yang terkait dengan buku teks, terutama mengenai:
pengaruh buku bagi pembacanya;
buku dalam pendidikan;
pandangan ahli pendidikan terhadap buku teks; dan
kondisi pemakaian buku teks.
Setidaknya ada empat hal yang perlu Anda pahami terkait dengan buku teks, yaitu (1) bagaimana pengaruh buku bagi pembacanya, (2) bagaimana peran buku dalam pendidikan, (3) bagaimana pandangan ahli pendidikan terhadap buku teks, dan (4) bagaimana kondisi pemakaian buku teks. Berturut-turut keempat hal tersebut diuraikan berikut ini. Untuk menambah wawasan Anda, bagian akhir bab ini juga disajikan bahan diskusi tentang kondisi perbukuan di Indonesia.
1.1 Pengaruh Buku bagi Pembacanya
Pada era global ini kehidupan manusia tidak bisa melepaskan diri dari buku. Lewat buku manusia bisa bertambah wawasannya yang pada akhirnya (langsung atau tidak langsung) akan mempengaruhi pola pikir dan pola hidupnya. Bahkan, larena kuatnya pengaruh bagi kehidupan manusia, ada sekelompok ”buku” yang disebut ”the great book”, yaitu Quran, Injil, Taurat, Zabur, Weda, dan Tripitaka. Selain itu, dikenal pula ”buku-buku pengubah dunia”, yaitu Trias Politika, Das Kapital, De Principle, dan Uncle Toms Cabin.
Secara rinci D. Waples dkk. (1990) membagi pengaruh buku bagi pembacanya menjadi lima kategori, yaitu (1) pengaruh instrumental, (2) pengaruh prestise, (3) pengaruh pemantapan, (4) pengaruh estetis dan apresiatif, dan (5) pengaruh pelepasan. Buku dikatakan mempunyai pengaruh instrumental apabila lewat membaca buku itu, pembaca memperoleh informasi atau petunjuk yang dapat membantu pemecahan masalah yang ditemui dalam kehidupannya. Buku dikatakan mempunyai pengaruh prestise apabila setelah membaca buku, pembaca bisa memantapkan pola pikir, tingkah laku dan sikapnya yang pada akhirnya dapat terangkat prestise dan martabatnya. Buku dikatakan mempunyai pengaruh pemantapan (reinforcement) apabila setelah membaca buku, yang bersangkutan merasa lebih mantap dalam mengambil langkah-langkah dalam kehidupannya. Buku dikatakan dapat berpengaruh estetis dan apresiatif apabila dengan membaca buku tersebut pembaca dapat terbina daya seni (estetika) dan apresiasinya Terakhir, buku dikatakan mempunyai pengaruh pelepasan (respite) apabila dengan membaca buku, yang bersangkuan bisa melepaskan diri dari keresahan, kericuhan, dan keruwetan yang ada pada dirinya.
Pengaruh buku tersebut akan lebih terasa pada diri anak. Para ahli pendidikan berkesimpulan bahwa lewat membaca buku, anak akan berpengaruh perkembangan minat, sikap sosial, emosi, dan penalarannya. Konsekuensinya, apabila buku yang dibaca berisi hal-hal yang negatif, maka perkembangan jiwa anak juga mengarah ke negatif. Sebaliknya, apabila yang dibaca berisi hal-hal yang positif, maka perkembangan jiwa anak pun positif. Karena yang diharapkan oleh semua pihak (:orang tua, pemerintah, penddik) agar anak berkembang secara positif, persediaan buku bagi anak (buku bacaan, buku teks, dan sebagainya) haruslah buku yang memenuhi syarat positif.
Permasalahan yang segera muncul adalah buku bagaimanakah yang memenuhi syarat positif bagi anak? Buku dikatakan mempunyai syarat positif apabila mengandung hal-hal berikut, yaitu
(a) bisa memperluas wawasan anak;
(b) bisa menambah pengetahuan baru;
(c) bisa membimbing berpikir konstruktif;
(d) bisa mengarahkan kreativitas;
(e) bisa menumbuhkan sikap moral, sosial, dan agama yang baik; dan
(f) bisa menuntut ke arah kehidupan yang mandiri
Buku dikategorikan “bisa memperluas wawasan anak” apabila buku tersebut berisi informasi faktual, deskriptif, atau naratif yang belum menjadi perhatian anak. Misalnya, informasi tentang cara meminum obat, cara mandi yang betul, makanan sehat, teman yang baik, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa menambah pengetahuan baru” apabila buku tersebut berisi penjelasan tentang pengetahuan dan kelimuan sederhana yang belum diketahu anak. Misalnya, proses terjadinya gunung meletus, proses terjadinya hujan, perlunya kebersihan lingkungan, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa membimbing berpikir konstruktif” apabila buku tersebut berisi uraian atau eskripsi yang dapa merangsang anak untuk berpkir secara rasional. Misalnya, cerita tentang kerugian anak yang malas belajar, keuntungan anak yang berbaik hati, akbat anak yang ska berbohong, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa mengarahkan kreativitas” apabila buku tersebut berisi petunjuk atau pedoman paktis yang dapat diterapkan oleh anak dalam kehidupannya. Misalnya, cara membuat burung dari kertas, cara membuat lampu minyak, cara menjernihkan air, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa menumbuhkan sikap moral, sosial, dan agama yang baik” apabila buku tersebut berisi cerita faktual atau fiksi yang melibatkan tokoh-tokoh idola yang dapat dipakai sebagai cermin atau dapat ditiru dalam kehidupan anak. Misalnya, cerita pahlawan, tokoh agama, dermawan cilik, dai cilik, dan sebagainya. Terakhir, buku dikategorikan “bisa menuntut ke arah kehidupan yang mandiri” apabila buku tersebut berisi cerita tentang solusi atas problema kehidupan. Misalnya, keberhasil anak desa yang sebatang kara, kesuksesan anak cacat netra, berjuang melawan sakit menahun, dan sebagainya.Syarat-syarat itulah yang secara ideal terdapat pada buku yang layak sebagai bacaan anak.
1.2 Buku dalam Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, buku merupakan bagian dari kelangsungan pendidikan. Dengan buku, pelaksanaan pendidikan dapat lebih lancar. Guru dapat mengelola kegiatan pembelajaran secara efektif dan efisien lewat sarana buku. Siswa pun dalam mengikuti kegiatan belajar dengan maksimal dengan sarana buku. Bahkan, administratur pendidikan dapat mengelola pendidikan dengan efektif dan efisien dengan berpedoman ada aturan-aturan dan lebijakan yang tertuang dalam buku, misalnya pedoman pelaksanaan pendidikan dan kurikulum. Atas dasar itulah, bangsa-bangsa Eropa (yang termasuk bangsa maju) berpendapat bahwa ”education without book is unthinkable”.
Sebagai bangsa yang maju, kita patut tidak berseberangan pendapat dengan bangsa Eropa tentang buku. Buku hendaknya menjadi perhatian utama, mulai dari pengadaan (baca: penulisan), penggandaan, sampai dengan penyeberannya. Dari segi pengadaan, buku-buku yang ditulis hendaknya diarahkan pada peningkatakan wawasan dan perkembangan jiwa yang positif, tidak hanya masalah iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi juga masalah sosial dan imtak (iman dan takwa). Dengan demikian ada keseimbangan antara perkembangan pemikiran dan kejiwaaan. Inilah yang biasa disebut ”manusia utuh” itu. Dari segi penggandaan, buku-buku yang telah ditulis hendaknya diproduksi secara proporsional dan memadai. Oleh karena tu, pemerintah hendaknya mengalokasikan anggaran yang cukup untuk itu. Pihak swasta pun sebaiknya terlibat dalam penggandaan ini walaupun dalam bentuk transaksi bisnis. Dari segi penyebaran, buku yang telah digandakan hendaknya disebarkan secara merata. Jangan hanya diarahkan ke kota-kota besar saja. Daerah terpencil justru mendapatkan perhatian utama. Dengan demkian, akan terjadi pemerataan perkembangan pola pikir dan wawasan. Terkait dengan penyebaran buku ini, niat pemerintah untuk program buku murah perlu mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat.
Buku-buku yang dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan bermacam-macam. Namun demikian, apabila dilihat dari segi isi dan fungsinya, buku pendidikan setidak-tidaknyanya dapat dibedakan menjadi tujuh jenis, yaitu sebagai berikut.
a.Buku acuan, yaitu buku yang berisi informasi dasar tentang bidang atau hal tertentu. Informasi dasar atau pokok ini bisa dipakai acuan (referensi) oleh guru untuk memahami sebuah masalah secara teoretis.
b.Buku pegangan, yaitu buku berisi uraian rinci dan teknis tentang bidang tertentu. Buku ini dipakai sebagai pegangan guru untuk memecahkan, menganalisis, dan menyikapi permasalahan yang akan diajarkan kepada siswa.
c.Buku teks atau buku pelajaran, yaitu buku yang berisi uraian bahan tentang mata pelajaan atau bidang studi tertentu, yang disusun secara sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi pembelajaran, dan perkembangan siswa, untuk diasimilasikan. Buku ini dipakai sebagai sarana belajar dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.
d.Buku latihan, yaitu buku yang berisi bahan-bahan latihan untuk memperoleh kemampuan dan keterampilan tertentu. Buku ini dipakai oleh siswa secara periodik agar yang betrsangktan memiliki kemahiran dalam bidang tertentu.
e.Buku kerja atau buku kegiatan, yaitu buku yang difungsikan siswa untuk menuliskan hasil pekerjaan atau hasil tugas yang diberikan guru. Tugas-tugas ini bisa ditulis di buku kerja tersebut atau secara lepas.
f.Buku catatan, yaitu buku yang difungsikan untuk mencatat informasi atau hal-hal yang diperlukan dalam studinya. Lewat buku catatan ini siswa dapat mendalami dan memahami kembal dengan cara membaca ulang pada kesempatan lain.
g.Buku bacaan, yaitu buku yang memuat kumpulan bacaan, informasi, atau uraian yang dapat memperluas pengetahuan siswa tentang bidang tertentu. Buku ni dapat menunjang bidang studi tertentu dalam memberikan wawasan kepada siswa.
Secara visual, ketujuh buku pendidikan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Karena begitu pentingnya buku dalam pendidikan, pada tahun 2008 Pemerintah mencanangkan buku murah dalam bentuk buku elektronik (e-book) yang diberi nama Buku Sekolah Elektronik (BSE). Buku yang hak ciptanya telah dibeli Pemerintah ini dapat diakses oleh siapa saja secara gratis. Informasi lebih rinci, dapat Anda baca penjelasan pada boks berikut.
====
BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK PUSAT PERBUKUAN
Buku Sekolah Elektronik (BSE) atau buku elektronik (e-book) merupakan salah satu sarana penting dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu permasalahan perbukuan dalam era otonomi daerah dewasa ini adalah ketersediaan buku yang memenuhi standar nasional pendidikan dengan harga murah yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Dalam rangka menyediakan buku yang memenuhi standar nasional pendidikan, bermutu dan murah, Departemen Pendidikan Nasional telah membeli hak cipta buku teks pelajaran dari penulis/penerbit dan diwujudkan dalam bentuk ebooks.
Visi dan Misi BSE
Menyediakan buku sekolah yang memenuhi standar, bermutu, murah dan mudah diperoleh.
Tujuan
1. Menyediakan sumber belajar alternatif bagi siswa.
2. Merangsang siswa untuk berpikir kreatif dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi.
3. Memberi peluang kebebasan untuk menggandakan, mencetak, memfotocopy, mengalihmediakan, dan/atau memperdagangkan BSE tanpa prosedur perijinan, dan bebas biaya royalti sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan Menteri.
4. Memberi peluang bisnis bagi siapa saja untuk menggandakan dan memperdagangkan dengan proyeksi keuntungan 15% sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan Menteri.
Sasaran
1. BSE ditujukan untuk siswa, guru, dan seluruh masyarakat Indonesia.
2. Penggandaan BSE untuk Diperdagangkan.
BSE, baik dalam bentuk buku maupun rekaman cakram (CD/DVD) dapat digandakan dan diperdagangkan dengan ketentuan tidak melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional dan memenuhi syarat serta ketentuan yang berlaku.
Pemerintah melalui Dewan Pendidikan Nasional menyediakan beberapa situs untuk mendukung pusat perbukuan dan buku sekolah elektronik, yaitu:
(1) http://bse.depdiknas.go.id/
(2) http://www.sibi.or.id/
(3) http://www.pusbuk.or.id/
Review:
1. http://bse.depdiknas.go.id/
Situs ini menyediakan BSE/Buku Sekolah Elektronik yang siap di download, antara lain :
- Tingkat SD : Kategori Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dengan total buku 93 record.
- Tingkat SMP : Kategori Bahasa Indonesia, Ilmu Sosial (IPS), Matematika, English
dengan total buku 73 record.
- Tingkat SMA : Kategori Bahasa Indonesia, Matematika, Sosiologi&Antropologi
dengan total buku 24 record.
- Tingkat SMK : Kategori Bahasa, Matematika, Sosiologi & Antropologi, Akuntansi, Bahasa Inggris
dengan total buku 19 record.
Cara mendownload buku di http://bse.depdiknas.go.id/ cukup degan memilih buku sesuai kategori dan tingkat pendidikan. Setelah melalui form peraturan dan persetujuan, maka kita sudah siap untuk mendownload. Satu ebooks mata pelajaran biasanya terbagi dalam berbagai Bab, sehingga harus sabar mendownload satu persatu bagian (Ini yang melelahkan dan terlalu banyakk klik). Terdapat beberapa mirror server untuk mendownload antara lain, Server Utama : Jardiknas Jakarta dan Server Mirror : Universitas Indonesia - Depok, Open Source Telkom - Jakarta, Institut Teknologi Sepuluh November. Tetapi ada juga versi baca online/langsung, bagi yang tidak ingin repot mendownload.
2. http://www.sibi.or.id/
Sistem Informasi Perbukuan Indonesia (SIBI) merupakan informasi jaringan global yang disediakan oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Diharapkan seluruh lapisan masyarakat dapat mmperoleh informasi perbukuan Indonesia dengan cepat, mudah, dan akurat.
3. http://www.pusbuk.or.id/
Pusat Perbukuan mempunyai tugas melaksanakan pengembangan dan koordinasi kegiatan perbukuan serta pengendalian mutu buku, informasi, dan teknologi perbukuan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut di atas, Pusbuk menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan bahan kebijakan teknis di bidang perbukuan;
b. Pengembangan naskah, koordinasi penulisan, dan penerjemahan bukupendidikan dan pengendalian mutu buku pendidikan;
c. Pengelolaan dan pengembangan teknologi dan informasi perbukuan
d. Pelaksanaan urusan ketatausahaan pusat.
Sumber: http://th4nks.blogspot.com
=====
1.3 Pandangan Ahli Pendidikan terhadap Buku Teks
Kehadiran buku teks di dunia pendidikan disikapi oleh ahli pendidikan dengan berbagaimacam versi. Ada yang bersikap negatif, ada yang bersikap positif, dan adapula yan bersikap moderat. Ketiga pandangan yang berbeda ini didasari oleh alasan yang bertolak belakangsatu dengan lainnya.
Pandangan Negatif terhadap Buku Teks
Para ahli pendidikan yang bersikap negatif atau “antipati” atas kehadiran buku teks di dunia pendidikan didasarkan oleh kenyataan berikut.
a.Buku teks kurang memperhatikan perbedaan individual siswa. Siswa sasaran dianggap homgen sehingga bahan ajar yang ada pada buku teks tersaji tanpa memperhatikan siswa yang ”uper” dan siswa yang ”lower”.
b.Desain buku teks sering tidak sesuai dengan desain kurikulum pendidikan. Akibatnya, dengan menggunakan buku teks tersebut, program pendidikan yang telah dirancang dalam kurikulum tidak tercapai.
c.Konteks dan bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering tidak sesuai dengan kondisi dan lingkunna siswa sasaran. Apabila hal ini terjadi, buku teks akan terkesan ”memaksa” siswa untuk belajar sesuatu yang ”tidak sesuai” dengan kondisi dirinya.
d.Bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering bias dan basi. Ini terjadi karena antara waktu penyusunan buku teks dan waktu pemakaiannya berselang terlalu lama. Akibatnya, informasi dan masalah yang terdapat dalam buku teks sudah ”kadaluarsa”, bahkan tidak sesuai lagi dengan yang sedang dihadapi siswa.
Ahli pendidikan yang apriori terhadap kehadiran buku tekas ini adalah ahli pendidikan yang mengikuti sistem pendiikan lama.
Pandangan Positif terhadap Buku Teks
Sebaliknya, ahli pendidikan yang bersikap positif atas kehadiran buku teks didasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut.
a.Buku teks merupakan ”the foundation of learning in classroom”. Anggapan ini didasarkan oleh kenyataan bahwa pengajaran yang dianggap efektif dan efisien adalah pengajaran klasikal. Kalau toh ada yang individual, sangatlah bersifat khusus, karena kondisi tertentu.
b.Buku teks memuat bahan ajar yang sebaiknya disajikan (what to teach) dan sekuensi atau urutan cara penyajiannya. Oleh karena itu penyusunan buku teks tentu memperhatikan bahan ajar mana yang patut dan sebaiknya disajikan, termasuk tata cara penyajian yang sesuai dengan jenis bahan dan kondisi siswa sasaran.
c.Jangkauan,jumlah, dan jenis bahan ajar yang terdapat dalam buku teks telah relatif pasti sehingga guru memungkinkan untuk mengalokasikannya berdasarkan jadwal sekolah. Dengan demikian, lewat pemakaian buku teks dapat terkontrol dengan ketat program pengajarannya.
d.Paparan masalah atau pokok persoalan (subject matter) dalam buku teks relatif teliti. Ketelitian ini terlihat mulai dari proses pemilihan bahan, klasifikasi bahan, sampai dengan proses penyusunannya. Hal ini hampir tidak mungkin dilakukan guru dengan bahan ajar yang disusunnya sendiri.
e.Bahan ajar dalam buku teks tertata cukup baik. Ini dapat dilihat dari cara penyajian bahan ajar yang memperhatikan hierarkhi dan tataletaknya sehingga mudah dipahami siswa. Tidak semua guru memiliki keterampilan menata bahan seperti yang terdapat pada buku teks.
f.Buku teks cukup banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar peta, dan diagram. Alat bantu ini akan dapat mempercepat pamahaman siswa atas bahan ajar yang sedang dipelajari. Pada umumnya, alat bantu semacam itu sulit diciptakan oleh guru dalam waktu yang relatif singkat.
g.Kesinambungan bahan ajar dalam buku teks telah diatur sedemikian rupa oleh penyusunnya. Lebih-lebih, apabila buku tersebut merupakan buku berseri. Hal ini dapat dimaklumi, sebab sebelum penyusunan buku teks dimulai, terlebih dahulu disusun kerangka (outline) secara menyeluruh. Dengan demikian, tidak dijumpai bahan ajar yang terlepas dari yang lain. Sebaliknya, bahan-bahan itu merupakan rangkaian yang utuh.
h.Buku teks merupakan batu loncatan bagi siswa. Dengan menggunakan buku teks, siswa terbebas dari kegiatan mencatat yang merupakan pemborosan waktu, tenaga, dan pikiran.
i.Buku teks sangat membantu sekolah yang tidak memiliki perpustakaan yang lengkap. Hal ini bisa dimaklumi karena buku teks berisi serangkaian bahan ajar yang minimal harus dikuasai atau dipahami siswa. Jika tidak lewat kemasan buku teks, bahan-bahan itu tentu berada di berbagai buku sumber.
j.Buku teks yang dipublikasikan oleh pemerintah dan pihak swasta telah dipertimbangkan kualitasnya. Pertimbangan kualitas ini merupakan konsekuensi logis. Sebab, kalau tidak, tentu akan merugikan pihak pemerintah dan penerbit swasta itu sendiri. Para pemakai buku teks (terutama guru) tentu tidak akan menggunakan secara maksimal, bahkan tidak mau menggunakannya, apabila buku teks tersebut tidak berkualitas.
Ahli pendidikan yang mendukung sepenuhnya kehadiran buku teks ini adalah ahli pendidikan modern.
Pandangan yang Moderat terhadap Buku Teks
Kedua pandangan tersebut sebenarnya boleh dikatakan sangatlah ekstrem, baik eksrem kiri dan ekstrem kanan. Kedua pendapat itu masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Lalu, timbullah pandangan yang moderat terhadap kehadiran buku teks. Pandangan ketiga ini diilhami oleh kenyataan bahwa tidak semua buku teks menguntungkan bagi pendidikan dan tidak semua pula buku teks merugikan bagi kelangsungan pendidikan. Beberapa argumentasi berikut ini menjadi alasan bagi pandangan yang moderat terhadap buku teks.
a.”No one textbook is the best for all situation” (Romero dalam ”What Textbook Shall We Use”. Forum 2, 1975)
Argumentasi ini bisa dimaklumi sebab pada kenyataan memang tidak ada satu pun buku teks yang ampuh untuk semua situasi dan kondisi. Namun demikian, keterbatasan ini tidak boleh dipakai sebagai “kambing hitam” untuk tidak menggunakan buku teks. Keterbatasan ini harus diantisipasi guru pada saat mengasimilasikannya di kelas. Yang peru dipahami adalah buku teks merupakan sarana untuk mencapai tujuan pengajaran dan buku teks bukanlah pengajaran. Oleh karena itu, buku teks tidak bisa mengajar. Yang bisa mengajar adalah guru lewat sarana antara lain buku teks.
b.Tidak ada buku teks yang betul-betul bisa memenuhi harapan kurikulum. (J. N. Hook, 1965).
Pernyataan ini pun bisa dimaklumi. Memang tidak ada satu pun buku teks yang bisa memenuhi kebutuhan kurikulum secara total. Buku teks hanyalah salah satu sarana bukan satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan kurikulum. Walaupaun Garis-garis besar Program pengajaran (GBPP) atau silabus pada kurikulum tertentu dipakai sebagai acuan penyusunan bahan ajar pada buku teks, tetap tidak bisa menjamin bahwa buku teks dapat memenuhi kebutuhan kurikulum secra total. Sebab, faktor-faktor lain di luar buku teks juga ikut menentukannya, yaitu guru pemakai buku teks, siswa sasaran, situasi dan kondisi sekolah, dan aspek-aspek lainnya.
c.Tidak ada satu pun buku teks yang cocok untuk semua jenjang pendidikan.
Pernyataan ini tidak mengada-ada, bahkan bisa dimakluminya. Buku teks memang disusun dengan mempertimbangkan program tertentu, jenjang pendidikan tertentu, dan pola pikir siswa tertentu. Akibatnya, buku teks hanya cocok untuk “sasaran” tetentu saja.
Pandangan ketiga inilah yang memandang buku teks secara lebih objektif dan rasional. Sebab, buku teks akan berpran secara maksimal apabila memenuhi criteria ideal dan diasimilasikan oleh guru yang professional.
Sebagai bahan perenungan dan bahan diskusi, perhatikan tulisan tentang “Pentingnya Buku Pelajaran dalam Proses Pembelajaran” yang dirilis oleh Subiyanto, Bambang, dan Novan berikut ini!
=====
PENTINGNYA BUKU PELAJARAN DALAM PROSES PEMBELAJARAN
Buku pelajaran memiliki peran penting dalam sistem pendidikan (nasional). Buku merupakan salah satu komponen dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hal tersebut dirasakan manfaatnya oleh Diah Wahyu Fitria Rahmawati, siswa kelas 6 SDS Trisula I Jakarta. Menurutnya, manfaat buku pelajaran, yaitu untuk menambah pengetahuan, misalnya untuk mengetahui perkembangan atau peristiwa-peristiwa yang terjadi. Meskipun demikian, tampaknya tidak semua pengetahuannya tercakup dalam buku pelajaran. Karenanya, selain memiliki buku pelajaran, menurut Inu, sapaan akrabnya, ia pun membuat catatan-catatan yang menurutnya di buku tidak ada.
Kemanfaatan buku pelajaran dibenarkan pula oleh Tami, siswi SMP Labschool Rawamangun Jakarta Timur. “Manfaat buku pelajaran adalah untuk menambah ilmu, dalam pengertian dari tidak tahu menjadi tahu, agar mendapat nilai bagus ketika ulangan, dan dapat menjawab pertanyaan dari guru,” ungkapnya beralasan.
Pentingnya buku pelajaran ditanggapi pula oleh Budi, orang tua murid. “Pasti sangat penting,” ujarnya bersemangat. Menurutnya, apalah pengetahuan kami (baca: masih kurang, red.) kalau tidak dibantu dengan buku. “Oleh karena itu, memilih buku yang baik sangat menentukan hasil belajar dari anak-anaknya,” ungkapnya menjelaskan.
Bagi orang tua murid yang tinggal di Percetakan Negara ini, dengan adanya buku pelajaran sangat membantu dirinya. “Saya tidak mengerti kurikulum itu apa, dan apa yang harus diajarkan, serta berapa lama waktunya,” katanya beralasan tentang manfaat buku pelajaran. Jadi, menurutnya, buku menjadi patokan orang tua untuk mengajari, membantu belajarnya, atau mengukur tingkat keberhasilannya.
Buku Teks Jangan Hanya Jadikan Patokan
Tidak dapat disangkal lagi bahwa baik oleh siswa maupun orang tua siswa, buku pelajaran masih dijadikan patokan. Begitu pun dengan guru. Menurut Deden E. Ariffan, ukuran untuk guru-guru di Indonesia masih berpatokan dengan buku teks. “Keberadaan buku teks sangat membantu, tetapi jangan sampai terjadi guru hanya berpatokan pada buku tersebut,” ujar guru SMA yang mengajar Antropologi di Labschool Rawamangun Jakarta Timur ini menambahkan. Padahal, tambahnya lagi, guru dapat mencari bahan rujukan dari sumber aslinya, yaitu dengan melihat daftar pustaka pada buku teks. Nantinya, katanya, guru akan mendapatkan ilmu-ilmu baru yang tidak didapatkan dalam buku pelajaran tersebut.
Lalu, bagaimana gambaran ideal sebuah buku pelajaran? Moh. Yasin, dosen UI, menjelaskan bahwa kita harus melihat dari tujuan pendidikan itu sendiri. Namun demikian, menurutnya, Departemen Pendidikan Nasional sebagai badan yang berkompeten dirasa belum mempunyai tujuan yang jelas. “Tidak adanya kesinambungan antara SMP, SMU, dan universitas,” ungkap staf pengajar di FEUI ini.
Menyinggung buku-buku pelajaran yang diterbitkan oleh penerbit swasta, Deden melihat masih ada kekurangannya. Ia melihat bahwa buku pelajaran, penekanannya lebih kepada apa yang disebut intelektual atau akal yang disebut kecerdasan intelektual. Jadi, menurutnya, tidak menyentuh kepada hal-hal yang bersifat emosional, mampu menggugah sosial anak, dan mampu menggugah potensi spiritual anak. “Ini kemudian yang menyebabkan buku-buku pelajaran tidak terlalu menarik karena hanya memuat materi dengan sangat padat dan tidak ada ekspresi untuk anak harus melakukan apa terhadap buku tersebut,” ujarnya menjelaskan.
Sementara dari segi desain, masih menurut Deden, buku-buku sekarang sudah lebih baik, artinya sudah mulai ada setting atau pengaturan warna buku meskipun diakuinya bahwa jika dibandingkan dengan buku-buku dari luar kita masih ketinggalan, dalam arti selain buku-buku itu menarik, juga penuh dengan ilustrasi-ilustrasi yang mampu menimbulkan imajinatif anak.
Hal senada diungkapkan pula oleh Lili Nurlaili, staf teknik Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional. Menurut Lili, pada umumnya, secara garis besar, terutama para penerbit besar, buku-bukunya sudah bagus, artinya sudah memenuhi sesuai dengan target kurikulum. Namun demikian, menurutnya, buku-buku tersebut masih kurang lengkap, yakni dalam penilaiannya sebagaimana tuntutan kurikulum ( project and product dan paper and pencil). “Kalau paper and pencil semua buku sudah sudah canggih, bagaimana item soalnya, dan seterusnya sudah bagus,” ungkapnya, sambil menambahkan, hanya project and product belum. “Mereka membuat seperti mari lakukan dan seterusnya, tetapi setelah itu anak-anak tidak di-guideline seperti apa melakukan wawancara, kemudian stamp pertanyaannya seperti apa dan kepada siapa audiensnya,” jelasnya. Jadi artinya, ia melanjutkan, tahapan-tahapan yang paper and pencil dan project, serta seperti apa portofolio itu kurang jelas.
Ia mencontohkan, “Lakukanlah wawancara atau lakukanlah observasi, tidak diberi lagi seperti apa mereka lakukan observasi, kemudian arahannya seperti apa, kemudian kalau targetnya sudah tercapai sebenarnya yang dinilai dalam observasinya itu apa, di dalam wawancaranya itu apa.” Secara sederhananya ia menunjukkan dalam diskusi sering melihatnya diskusikanlah ini dan diskusikanlah itu, tetapi anak-anak tidak tahu diskusi yang benar itu seperti apa. “Misalnya saling menghargai, mau menerima pendapat teman, tidak mendominasi pembicaraan, itu tidak diberikan pengarahan seperti itu sehingga akhirnya diskusi itu lepas begitu saja, dan terkadang guru juga tidak memperhatikan bagaimana arahan diskusi yang baik dan benar tersebut,” sesalnya.
(Subiyanto/Bambang/Novan)
Sumber: http://ganeca.blogspirit.com
====
1.4 Kondisi Pemakaian Buku Teks
Selama ini terdapat anggapan dari sebagian besar masyarakat (khususnya komunitas pendidikan) bahwa buku teks sebagai penunjang pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas dikelompokkan menjadi dua, yaitu buku teks wajib dan buku teks penunjang. Buku teks wajib (juga biasa disebut buku paket) adalah buku teks yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional. Sementara itu, buku teks penunjang (juga biasa disebut buku pelengkap) adalah buku teks yang diterbitkan oleh penerbit swasta. Pendapat seperti itu sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmuan sebab kedua ”jenis” buku teks tersebut sama-sama berorientasi kepada kurikulum yang sedang berlaku, baik dari segi pendekatan, isi, maupun strateginya. Karena orientasinya sama, kedua jenis buku teks itu sebenarnya mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama dalam menunjang pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Anggapan dekotomis tersebut sebenarnya dipicu oleh kebijakan ”politis” pemerintah (sebelum era Reformasi) bahwa bahwa buku teks wajib mempunyai kedudukan ”utama”, sedangkan buku teks penunjang ini mempunyai kedudukan ”pelengkap”. Kebijakan pemerintah ini didasari pertimbangan bahwa apabila buku teks wajib ini kalah pengaruhnya dengan buku teks penunjang, akan berdampak pada keheterogenan hasil belajar siswa. Apabila keadaan ini terjadi, tentu akan menyulitkan pemerintah dalam menentukan sandardisasi kualitas atau keberhasilan belajar siswa. Kebijakan semacam ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila buku teks yang beredar (baik yang dterbitkan oleh pemerintah maupun swasta) telah mendapat kontrol lewat penilaian terlebih dahulu oleh lembaga yang kompeten atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah, lewat Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP).
Dilihat dari penyusunnya, buku teks wajib ini biasanya disusun oleh tim yang para anggotanya tentunya mempunyai kualitas yang dipersyaratkan. Bahkan, sebelum buku teks wajib ini diterbitkan, terlebih dahulu ditelaah kualitas atau kevaliditasannya baik dari segi isi, strategi, dan bahasa dalam forum lokakarya. Sementara itu, buku teks penunjang yang diterbitkan oleh swasta biasanya ditulis oleh penulis (baik sendiri mapun kelompok) yang berminat atau yang mempunyai pengalaman terhadap bidang pelajaran tertentu. Karena pertimbangan pasar, buku yang ditulisnya selain disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku, juga disesuaiakan dengan keinginan pasar. Bahkan, hal-hal tertentu yang dianggap lemah atau sumbeng dalam buku teks wajib akan dibenahi atau dilengkapi dalam buku teks penunjang ini.
Sebagai konsekuensinya, buku teks wajib yang diterbitkan oleh pemerintah disebarkan secara cuma-cuma ke sekolah-sekolah seluruh Indonesia. Hanya saja, jumlah buku yang disebarkan jauh di bawah kebutuhan siswa. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1994), misalnya, pernah mengakui bahwa karena keterbatasan dana, buku teks wajib yang disebarkan hanyalah 20% dari kebutuhan real. Ini berarti masih 80% yang belum bisa terlayani buku teks wajib. Di sinilah peran buku teks penunjang bisa berkiprah untuk ”menggantikan” posisi buku teks wajib. Kesempatan ini rupanya dimanfaatkan baik-baik oleh penerbit swasta untuk mengisi kekosongan tersebut.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, buku teks yang beredar (baik buku teks wajib maupun penunjang) dijumpai keganjilan-keganjilan. Keganjilan yang dimaksud terlihat sebagai berikut.
a.Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan kurikulum.
b.Terdapat buku teks yang berisi pokok-pokok materi (semacam ringkasan).
c.Terdapat buku teks yang uraiannya sangat teknis.
d.Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan pola pikir siswa.
e.Terdapat buku teks yang kurang ”aplicable”.
Perhatian khusus terhadap keganjilan buku teks ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan arti buku teks dalam dunia pendidikan, tetapi justru untuk memacu peningkatan kualitas buku teks setelah dikaitkan dengan kedudukan dan fungsinya yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembelajran siswa di kelas.
Semenjak pemberlakuan kurikulum 1984 sampai dengan sekarang (Kurikulum 2006 atau KTSP) kehadiran buku teks sebagai penunjang pelaksanaan pembelajaran cukup dominan bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perhatian serius pemerintah terhadap dunia pendidikan dan minat dominan penerbit swasta terhadap penerbitan buku teks. Keberagaman buku teks yang beredar haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kalangan pendidikan, terutama guru. Sebab, dengan demikian, guru bisa memilih dengan leluasa: mana buku teks yang mempunyai kriteria ideal baik dilihat dari kesesuaiannya dengan kurikulum, kesesuaiannya bagi siswanya, maupun tingkat dan daya aplikasinya.
Di sisi lain, di lapangan dijumpai adanya anggapan bahwa buku teks wajib merupakan ”buku suci”. Anggapan yang ekstrem ini sebenarnya tidak perlu terjadi, sebab pada dasarnya tidak ada satu pun buku teks, termasuk buku teks wajib, yang ampuh untuk segala-galanya: kapan dan di mana saja. Sebab, pada saat diaplikasikan, buku teks (termasuk yang wajib) masih tetap perlu disiasati guru sebelum dipakai dalam pembelajaran. Misalnya, apakah sajian bahan ajarnya sudah sesuai dengan GBPP atau Kompetensi Dasar yang ingin dicapai; apakah strategi penyampaiannya sudah sesuai dengan pembelajaran yang disarankan Kurikulum, apakah pola pengembangan bahan ajar sesuai dengan perkembangan siswa, dan sebagainya, dan sebagainya.
Selain itu, masih dijumpai juga pelaksanaan pembelajaran yang berorientasi penuh kepada buku teks, tanpa melihat kurilulum (khususnya GBPP dan silabus yang telah dirancang) yang menjadi acuannya. Ketergantungan guru ini dibuktikan dengan gejal-gejala berikut.
a.Guru menerangkan satu per satu uraian bahan ajar yang ada pada buku teks, tanpa melihat pokok bahasan yang terdapat dalam GBPP atau silabus.
b.Guru melakukan langkah-langkah pembelajaran yang tertuang dalam buku teks, tanpa melihat kesesuaiannya dengan pembelajaran yang disarankan dalam GBPP atau silabus.
c.Guru mengembangkan rencana atau skenario pembelajaranb dari bahan ajar yang terdapat dalam buku teks, tanpa melihat tujuan pembelajaran (kompetensi dasar yang ingin dicapai) dan bahan ajar (pokok bahasan) yang terdapat dalam GBPP atau silabus.
d.Butir-butir evaluasi pun diambilkan dari pertanyaan atau tugas yang terdapat dalam buku teks tanpa ada upaya menghubungkannya dengan atau mengembangkan dari tujuan pembelajaran atau indikator dari kompetensi dasar yang telah ditentukan.
Keadaan yang timpang ini tentunya patut dicari penyebabnya. Sehubungan dengan itu, Mills dan Doeglass (1957:255-263) menyebutkan secara rinci faktor penyebab ketergantungan guru terhadap buku teks sebagai berikut.
a.Guru kurang dipersiapkan secara matang tehadap subjek yang diajarkan.
b.Guru lebih banyak diberikan problematik bidang studi di tingkat perguruan tinggi, tetapi sangat kurang disajikan problematik yang relevan denagn sekolah tempat mereka mengajar.
c.Guru kurang dilatih merencanakan bahan pembelajaran.
d.Tradisi yang menganggap bahw buku teks sebagai sumber lengkap yang siap disaikan masih sangat dominan.
e.Pengaruh penggunaan tes baku sebagai alat pengukur prstasi belajar.
Kelima faktor penyebab itu haruslah diantisipasi oleh pihak yang bertanggung jawab, baik oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (c. q. Direktorat Sarana Pendidikan) maupun oleh lembaga pendidkan tenaga kependidikan (LPTK), agar tidak terjadi ketimpangan yang berkelanjutan.
Sebagai bahan perenungan dan bahan diskusi, perhatikan tulisan Iskandar tentang perbukuan berikut ini!
====
PENGEMBANGAN PERBUKUAN
Krisis perbukuan seperti yang terjadi di tanah air hampir tidak pernah terdengar di persekolahan Amerika. Siswa-siswa sangat dimanjakan oleh sistem perbukuan Amerika. Buku-buku teks, buku pendukung, buku pengayaan, dan referensi, semuanya tersedia di perpustakaan sekolah. Setiap siswa mendapat pinjaman buku teks untuk setiap mata pelajaran. Siswa juga dapat meminjam buku apa saja sesuai dengan minatnya, melalui perpustakaan sekolah, perpustakaan masyarakat, atau fasilitas peminjaman antar perpustakaan. Setiap siswa diharapkan memelihara buku teks dengan baik. Setelah naik kelas, buku teks dikembalikan ke sekolah untuk digunakan kembali oleh adik kelasnya. Begitulah seterusnya. Sekolah, distrik, atau negara bagian baru akan memperbaharui dan mengganti buku teks di sekolah setiap enam tahun sekali.
Musim pengadaan buku teks dimulai pada bulan April. Ada dua proses pengadaan buku teks di AS; adopsi formal buku teks dan pasar bebas. Yang diincar oleh penerbit adalah proses adopsi formal buku teks yang berlaku di 22 negara bagian, terutama Texas, California, dan Florida. Di kelompok negara bagian ini, buku teks yang akan digunakan oleh sekolah terlebih dahulu diuji kualitasnya oleh tim evaluasi yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian. Hanya buku-buku yang telah lulus evaluasi yang akhirnya akan dibeli oleh pemerintah negara bagian. ”The Big Three” negara bagian Texas, California, dan Florida senantiasa selalu menjadi perhatian utama para penerbit. Ke tiga negara bagian ini mempunyai populasi siswa SD-SMA sekitar 13 juta, sedang 19 negara bagian lainnya hanya 12,7 juta siswa. Meskipun jumlah siswa di ketiga negara bagian ini berbeda-beda; California lebih dari 6 juta siswa, Texas lebih 4 juta siswa, dan Florida sekitar 3 juta siswa, tetapi anggaran pengadaan buku teks mereka hampir sama. Pada tahun anggaran 2003/04, sebagai contoh, ke tiga negara bagian ini membelanjakan $900 juta untuk bahan instruksional termasuk buku teks. Meski unit cost berbeda untuk pembelian barang yang hampir sama, masyarakat tidak ribut karena lelang dilaksanakan secara fair, kompetitif, dan terbuka, dan dilaksanakan oleh sebuah unit khusus pengadaan yang sangat profesional.
Pengadaan buku teks di 28 negara bagian lainnya, seperti New York, Pensylvania, dan Ohio dilakukan melalui mekanisme pasar bebas. Sekolah atau distrik bebas memilih buku yang paling sesuai dengan Guidelines yang dikeluarkan oleh negara bagian. Meski populasi siswa SD-SMA di negara bagian tersebut sangat besar, penerbit tidak terlalu kuatir dalam memasarkan buku-bukunya. Logika bisnis penerbit umumnya akan berupaya masuk ke dalam daftar adopsi di negara-negara bagian dengan sistem adopsi formal buku teks untuk menutup biaya disain dan pengembangan yang tinggi, lalu menarik untung di negara-negara bagian yang menganut mekanisme pasar bebas. Oleh karena itu, persaingan agar masuk daftar adopsi di negara bagian, terutama ”The Big Tree,” menjadi sangat kritis, bahkan seringkali menentukan hidup matinya bisnis mereka.
Seluruh penerbit berupaya masuk dalam daftar buku yang diadopsi dengan berbagai cara, termasuk membeli perusahaan saingan. Dalam bisnis dengan turn-over milyaran dollar ini, penerbit gurem akhirnya harus mengalah dan membiarkan perusahaannya ditelan dan menjadi bagian dari konglomerasi penerbit raksasa yang menguasai seluruh bisnis buku teks dan bahan pelajaran di Amerika. Penerbitan buku teks di Amerika saat ini hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan raksasa, yaitu Pearson, perusahaan Inggris; Vivendi Universal, perusahaan Perancis; Reed Elsevier, perusahaan patungan Inggris dan Belanda; dan McGraw-Hill, perusahaan konglomerasi Amerika. Penerbit gurem atau setengah gurem akhirnya hanya melakukan sub-kontrak (maklun) pekerjaan pengembangan atau penulisan dari penerbit-penerbit raksasa.
Proses penulisan buku teks di Amerika nampaknya telah berevolusi menjadi sebuah proses industri dari pada sebuah proses pedagogi. Penulisan buku teks di sebagian besar penerbit Indonesia juga sudah mengikuti ”trend” yang tidak menggembirakan ini. Penulisan buku terdiri dari kegiatan mengumpulkan bahan, mengidentifikasi topik, menulis, mengedit, sampai pada tahap finalisasi setelah mendengar berbagai umpan balik (edit final), dilakukan oleh para ”pekerja” yang berbeda dan waktu yang berlainan. Seringkali satu sama lain tidak mengenal atau berkomunikasi dengan baik. Hanya seorang editor yang mengelola aliran pekerjaan penulisan buku itu semua. Topik-topik diidentifikasi dari referensi buku-buku teks yang pernah terbit sebelumnya, lalu diramu sehingga menjadi sangat komprehensif. Editor memutuskan topik-topik atau outline buku teks yang akan ditulis. Setelah puas dengan outline yang akan ditulis, editor menyewa beberapa “pekerja” penulis buku untuk mengembangkan outline dan menulis buku.
Dalam penulisan buku teks, Texas sering menjadi patokan utama. Meski hampir semua negara bagian mengeluarkan Guidelines, State Framework, Curriculum, atau Standar Kompetensi Ilmu Pengetahuan dan Keterampilan yang harus dikuasai oleh siswa, tetapi aturan Texas yang dikenal dengan TEKS (Texas Essential Knowledge and Skills) paling banyak memberikan pengaruh. Hal ini karena Texas merupakan satu-satunya negara bagian yang mengatur pengadopsian buku teks TK sampai SMA secara lengkap. Negara bagian California mengatur pengadopsian buku teks hanya untuk TK sampai kelas 8. Standar kompetensi beberapa negara bagian memang nampak belum banyak berkembang secanggih Texas. Dokumen TEKS disusun oleh anggota Texas Board of Education yang terdiri dari para akhli kurikulum, guru, dan politikus yang umumnya berpandangan ”konservatif.”
Selain Texas, pengaruh standar pendidikan California yang mewakili pandangan ”liberal” tampak cukup kuat. Penulisan buku-buku teks akan selalu dihadapkan pada dua pandangan yang hampir berseberangan antara ”konservatif” atau ”tradisional” dan ”liberal.” Terlalu banyak ”teori evolusi,” buku teksnya akan ditolak oleh tim adopsi konservatif, sedang kalau lupa merepresentasikan semua kelompok etnik, ras dan jender, akan ditolak mentah-mentah oleh tim adopsi liberal.
Editor buku teks akan senantiasa selalu mengikuti perkembangan baru dalam dunia pendidikan. Seorang editor aktif mengikuti berbagai seminar, workshop, atau lokakarya pendidikan di universitas-universitas, lembaga pemerintah, atau lembaga-lembaga riset untuk mengikuti perkembangan hasil riset, jargon-jargon baru, dan kecenderungan-kecenderungan yang akan datang; seperti accelerated learning, active learning, dan sebagainya. Kesempatan ini juga digunakan untuk mengidentifikasi nama-nama yang sedang ”naik daun” dalam dunia pendidikan yang mempunyai nilai jual pasar, untuk dicantumkan sebagai ”penulis” buku teks yang akan segera diterbitkan. Persis seperti yang terjadi di tanah air.
Penampilan buku teks siswa SD, SMP dan SMA sangat ”berbobot.” Terbuat dari kertas glossy yang tebal dengan kualitas printing yang bagus, penampilan buku teks siswa SD hampir sama dengan penampilan buku teks mahasiswa. Kalau dilihat perkembangannya dalam empat dekade ke belakang, ketebalan buku teks memang selalu meningkat seiring berjalannya waktu. Namun, bobot buku teks ternyata sudah mulai mengancam kesehatan siswa. Beberapa negara bagian seperti California, Tennessee, dan enam negara bagian lain sedang dalam proses legislasi untuk menentukan berat maksimum buku teks yang boleh diproduksi. Buku-buku teks untuk mata pelajaran pokok seperti matematika, sains, sejarah, dan membaca, semakin lama semakin tebal dan berat. Anak-anak SD, SMP dan SMA pergi ke sekolah dengan backpack yang berat layaknya regu pencinta alam yang ingin menaklukkan puncak Gunung Himalaya. Organisasi pediatrik dan chiropractic telah mengeluarkan rekomendasi, berat buku teks dan lainnya dalam backpack siswa agar tidak melebihi 20% dari berat badan siswa. Ke depan, buku teks harus lebih ringan, tahan lama, dengan kualitas printing yang sama atau lebih bagus. Tentu tidak mudah dan tidak murah. Beberapa sekolah telah mulai merintis penggunaan laptop sebagai pengganti buku teks, dan beberapa perpustakaan sudah merintis e-library dengan meminjamkan e-book, sebagai respon terhadap kesehatan dan meningkatnya volume informasi di abad ini.
Pelajaran bagi Pengembangan Buku Teks di Indonesia
Sistem pengembangan buku teks di AS sudah semakin mengarah menjadi sebuah ”industri” perbukuan dengan margin yang tinggi. Jaminan mutu sepenuhnya diserahkan pada pilihan, kapasitas dan intelektual pasar. Indonesia sebaiknya tidak mengikuti kecenderungan ini. Pasar Indonesia nampaknya belum siap dan belum secanggih pasar AS. Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat Indonesia baru 6,8 tahun (SMP Kelas 1), dan tingkat pendapatan per kapita 1/40 warga AS, sangat rentan terhadap berbagai penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh segelintir perusahaan penerbit yang bermodal besar. Pemerintah harus tetap dapat berperan agar kualitas pedagogik dapat tetap terpelihara.
Satu pelajaran yang paling berharga, buku teks di AS tidak perlu diganti dengan berubahnya kebijakan dalam kurikulum pendidikan. Perubahan kebijaksanaan atau kurikulum hanya mengubah metode pembelajaran. Buku teks dapat mengambil posisi sebagai buku referensi sementara guru aktif memperkaya materi pembelajaran dari berbagai literatur yang sangat dini dan kontekstual. Kadang-kadang siswa disuruh menyimak artikel di koran atau di internet untuk memenuhi tujuan instruksional tertentu. Persepsi masyarakat di Indonesia, ”Ganti Menteri, Ganti Kurikulum, Ganti Buku” sebenarnya ulah penerbit untuk melanggengkan usahanya. Sayangnya, guru dan kepala sekolah ikut memberi dukungan terhadap penggantian buku teks itu. Sebagian karena iming-iming rabat 30% - 40% dari penerbit, jika guru dapat menjual bukunya langsung kepada siswa. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah dan DPR harus secara tegas melarang bagi penerbit atau pedagang buku untuk menjual langsung atau berhubungan dengan guru atau sekolah, karena ini praktek bisnis yang sangat berbahaya. Berdasar pengalaman penulis pribadi sebelumnya sebagai Wakil Komite Sekolah di SMPN 13 Jakarta dan Wakil Dewan Pendidikan Kabupaten Sukabumi, perilaku penerbit menawarkan rabat langsung kepada guru dan sekolah merupakan praktek bisnis yang sangat mewabah dan sangat menggoda. Kalau Komite Sekolah atau Dewan Pendidikan bersikap pasif dan membiarkan praktek ”korupsi” terang-terangan dan kasat mata ini menjalar sampai ke sekolah dan kelas, maka sampai kapan pun sistem perbukuan di Indonesia tidak akan efektif.
Cara berikutnya untuk mengatasi pergantian buku ialah dengan sistem peminjaman. Awalnya sekolah perlu mengadakan satu siswa satu buku untuk setiap mata pelajaran. Selanjutnya, sekolah meminjamkan kepada siswa untuk satu tahun ajaran penuh. Tahun ajaran baru tidak menciptakan kegiatan orang tua membeli buku-buku baru karena sekolah menyediakan buku tahun lalu yang masih dapat dipakai. Sistem peminjaman juga menanamkan sifat tanggung jawab kepada siswa untuk memelihara dan menjaga barang pinjaman dengan baik.
Mata pelajaran di SD, SMP dan SMA di Indonesia sebaiknya juga dikelompokkan menjadi 4-6 mata pelajaran saja. Memang sungguh ironis, di satu pihak sekolah-sekolah di Indonesia masih kekurangan buku dan guru, tetapi di pihak lain, banyak rumpun-rumpun bidang studi yang dipecah menjadi beberapa mata pelajaran yang menuntut buku dan guru sesuai dengan bidang keahliannya. Sehingga ratio murid terhadap buku dan guru menjadi kurang efisien. Pelajaran IPA menjadi tiga mata pelajaran yang menuntut buku dan guru berbeda, demikian juga IPS. Padahal kalau dilihat dari substansi materi, rumpun pelajaran IPA di sekolah bukan ”rocket science” yang memerlukan buku dan guru dengan keahlian khusus. Penyederhanaan mata pelajaran juga akan memudahkan pemahaman materi dalan konteks kehidupan siswa sehari-hari, sehingga pendidikan yang didapat oleh siswa di sekolah menjadi lebih berarti.
Dalam pengadaan buku, sebaiknya tidak boleh ada ”monopoli kekuasaan” di tangan satu atau segelintir orang dalam membuat keputusan adopsi buku. Sistem adopsi buku teks untuk menjamin kualitas buku di AS dilakukan bervariasi, ada yang di tingkat negara bagian, tingkat distrik, atau tingkat sekolah. Sebenarnya sistem adopsi sangat tergantung dari efektivitas penyampaian akuntibilitas publik. Di tingkat sekolah, perlu ada panitia khusus yang diawasi oleh Komite Sekolah yang aktif dan punya integrasi. Demikian juga kalau pengadopsian dilakukan di tingkat kabupaten atau propinsi. Namun demikian, penentuan pengambilan keputusan pada tingkat sekolah untuk seluruh Indonesia tidak selamanya akan efektif. Sekolah-sekolah di desa yang terpencil sebaiknya dilakukan di tingkat kabupaten atau propinsi.
Langkah Depdiknas untuk mengembangan ”e-book” layak disambut dengan sangat baik. Mulai tahun 2007, Depdiknas telah mengembangkan jaringan elektronik ke seluruh sekolah di Indonesia. Lalu, Depdiknas membeli hak cipta (”copy right”) buku-buku teks untuk disajikan secara terbuka di website bagi siapa saja yang memerlukan. Siswa, guru atau sekolah tinggal mendownload dan mencetaknya. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan bagi siswa tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik karena tidak punya buku. Kendalanya hanya satu, sejauh mana siswa mempunyai akses internet dengan bandwith internet yang memadai agar dapat download buku teks tersebut.
Posted in Pemikiran, Pendidikan, Surat dari Amerika by Iskandar2358 on April 13th, 2008
=====
Catatan:
Ingin baca selengkapnya? Anda dapat memperolehnya di toko buku terdekat atau ke Penerbit Ar-Ruzz Media Yogyakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)