Senin, 13 Oktober 2008

Ada Apa dengan Buku Teks?

Oleh Masnur Muslich

Lewat uraian ini diharapkankan Anda mempunyai pemahaman tentang:
- pengaruh buku bagi pembacanya
- buku dalam pendidikan;
- pandangan ahli pendidikan terhadap buku teks; dan
- kondisi pemakaian buku teks.

1. Pengaruh Buku bagi Pembacanya

Pada era global ini kehidupan manusia tidak bisa melepaskan diri dari buku. Lewat buku manusia bisa bertambah wawasannya yang pada akhirnya (langsung atau tidak langsung) akan mempengaruhi pola pikir dan pola hidupnya. Bahkan, larena kuatnya pengaruh bagi kehidupan manusia, ada sekelompok ”buku” yang disebut ”the great book”, yaitu Quran, Injil, Taurat, Zabur, Weda, dan Tripitaka. Selain itu, dikenal pula ”buku-buku pengubah dunia”, yaitu Trias Politika, Das Kapital, De Principle, dan Uncle Toms Cabin.
Secara rinci D. Waples dkk. (1990) membagi pengaruh buku bagi pembacanya menjadi lima kategori, yaitu (1) pengaruh instrumental, (2) pengaruh prestise, (3) pengaruh pemantapan, (4) pengaruh estetis dan apresiatif, dan (5) pengaruh pelepasan. Buku dikatakan mempunyai pengaruh instrumental apabila lewat membaca buku itu, pembaca memperoleh informasi atau petunjuk yang dapat membantu pemecahan masalah yang ditemui dalam kehidupannya. Buku dikatakan mempunyai pengaruh prestise apabila setelah membaca buku, pembaca bisa memantapkan pola pikir, tingkah laku dan sikapnya yang pada akhirnya dapat terangkat prestise dan martabatnya. Buku dikatakan mempunyai pengaruh pemantapan (reinforcement) apabila setelah membaca buku, yang bersangkutan merasa lebih mantap dalam mengambil langkah-langkah dalam kehidupannya. Buku dikatakan dapat berpengaruh estetis dan apresiatif apabila dengan membaca buku tersebut pembaca dapat terbina daya seni (estetika) dan apresiasinya Terakhir, buku dikatakan mempunyai pengaruh pelepasan (respite) apabila dengan membaca buku, yang bersangkuan bisa melepaskan diri dari keresahan, kericuhan, dan keruwetan yang ada pada dirinya.

Pengaruh buku tersebut akan lebih terasa pada diri anak. Para ahli pendidikan berkesimpulan bahwa lewat membaca buku, anak akan berpengaruh perkembangan minat, sikap sosial, emosi, dan penalarannya. Konsekuensinya, apabila buku yang dibaca berisi hal-hal yang negatif, maka perkembangan jiwa anak juga mengarah ke negatif. Sebaliknya, apabila yang dibaca berisi hal-hal yang positif, maka perkembangan jiwa anak pun positif. Karena yang diharapkan oleh semua pihak (:orang tua, pemerintah, penddik) agar anak berkembang secara positif, persediaan buku bagi anak (buku bacaan, buku teks, dan sebagainya) haruslah buku yang memenuhi syarat positif.
Permasalahan yang segera muncul adalah buku bagaimanakah yang memenuhi syarat positif bagi anak? Buku dikatakan mempunyai syarat positif apabila mengandung hal-hal berikut, yaitu
(a) bisa memperluas wawasan anak;
(b) bisa menambah pengetahuan baru;
(c) bisa membimbing berpikir konstruktif;
(d) bisa mengarahkan kreativitas;
(e) bisa menumbuhkan sikap moral, sosial, dan agama yang baik; dan
(f) bisa menuntut ke arah kehidupan yang mandiri
Buku dikategorikan “bisa memperluas wawasan anak” apabila buku tersebut berisi informasi faktual, deskriptif, atau naratif yang belum menjadi perhatian anak. Misalnya, informasi tentang cara meminum obat, cara mandi yang betul, makanan sehat, teman yang baik, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa menambah pengetahuan baru” apabila buku tersebut berisi penjelasan tentang pengetahuan dan kelimuan sederhana yang belum diketahu anak. Misalnya, proses terjadinya gunung meletus, proses terjadinya hujan, perlunya kebersihan lingkungan, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa membimbing berpikir konstruktif” apabila buku tersebut berisi uraian atau eskripsi yang dapa merangsang anak untuk berpkir secara rasional. Misalnya, cerita tentang kerugian anak yang malas belajar, keuntungan anak yang berbaik hati, akbat anak yang ska berbohong, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa mengarahkan kreativitas” apabila buku tersebut berisi petunjuk atau pedoman paktis yang dapat diterapkan oleh anak dalam kehidupannya. Misalnya, cara membuat burung dari kertas, cara membuat lampu minyak, cara menjernihkan air, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa menumbuhkan sikap moral, sosial, dan agama yang baik” apabila buku tersebut berisi cerita faktual atau fiksi yang melibatkan tokoh-tokoh idola yang dapat dipakai sebagai cermin atau dapat ditiru dalam kehidupan anak. Misalnya, cerita pahlawan, tokoh agama, dermawan cilik, dai cilik, dan sebagainya. Terakhir, buku dikategorikan “bisa menuntut ke arah kehidupan yang mandiri” apabila buku tersebut berisi cerita tentang solusi atas problema kehidupan. Misalnya, keberhasil anak desa yang sebatang kara, kesuksesan anak cacat netra, berjuang melawan sakit menahun, dan sebagainya.Syarat-syarat itulah yang secara ideal terdapat pada buku yang layak sebagai bacaan anak.

2. Buku dalam Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, buku merupakan bagian dari kelangsungan pendidikan. Dengan buku, pelaksanaan pendidikan dapat lebih lancar. Guru dapat mengelola kegiatan pembelajaran secara efektif dan efisien lewat sarana buku. Siswa pun dalam mengikuti kegiatan belajar dengan maksimal dengan sarana buku. Bahkan, administratur pendidikan dapat mengelola pendidikan dengan efektif dan efisien dengan berpedoman ada aturan-aturan dan lebijakan yang tertuang dalam buku, misalnya pedoman pelaksanaan pendidikan dan kurikulum. Atas dasar itulah, bangsa-bangsa Eropa (yang termasuk bangsa maju) berpendapat bahwa ”education without book is unthinkable”.
Sebagai bangsa yang maju, kita patut tidak berseberangan pendapat dengan bangsa Eropa tentang buku. Buku hendaknya menjadi perhatian utama, mulai dari pengadaan (baca: penulisan), penggandaan, sampai dengan penyeberannya. Dari segi pengadaan, buku-buku yang ditulis hendaknya diarahkan pada peningkatakan wawasan dan perkembangan jiwa yang positif, tidak hanya masalah iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi juga masalah sosial dan imtak (iman dan takwa). Dengan demikian ada keseimbangan antara perkembangan pemikiran dan kejiwaaan. Inilah yang biasa disebut ”manusia utuh” itu. Dari segi penggandaan, buku-buku yang telah ditulis hendaknya diproduksi secara proporsional dan memadai. Oleh karena tu, pemerintah hendaknya mengalokasikan anggaran yang cukup untuk itu. Pihak swasta pun sebaiknya terlibat dalam penggandaan ini walaupun dalam bentuk transaksi bisnis. Dari segi penyebaran, buku yang telah digandakan hendaknya disebarkan secara merata. Jangan hanya diarahkan ke kota-kota besar saja. Daerah terpencil justru mendapatkan perhatian utama. Dengan demkian, akan terjadi pemerataan perkembangan pola pikir dan wawasan. Terkait dengan penyebaran buku ini, niat pemerintah untuk program buku murah perlu mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat.
Buku-buku yang dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan bermacam-macam. Namun demikian, apabila dilihat dari segi isi dan fungsinya, buku pendidikan setidak-tidaknyanya dapat dibedakan menjadi tujuh jenis, yaitu sebagai berikut.
Buku acuan, yaitu buku yang berisi informasi dasar tentang bidang atau hal tertentu. Informasi dasar atau pokok ini bisa dipakai acuan (referensi) oleh guru untuk memahami sebuah masalah secara teoretis.
Buku pegangan, yaitu buku berisi uraian rinci dan teknis tentang bidang tertentu. Buku ini dipakai sebagai pegangan guru untuk memecahkan, menganalisis, dan menyikapi permasalahan yang akan diajarkan kepada siswa.
Buku teks atau buku pelajaran, yaitu buku yang berisi uraian bahan tentang mata pelajaan atau bidang studi tertentu, yang disusun secara sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi pembelajaran, dan perkembangan siswa, untuk diasimilasikan. Buku ini dipakai sebagai sarana belajar dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.
Buku latihan, yaitu buku yang berisi bahan-bahan latihan untuk memperoleh kemampuan dan keterampilan tertentu. Buku ini dipakai oleh siswa secara periodik agar yang betrsangktan memiliki kemahiran dalam bidang tertentu.
Buku kerja atau buku kegiatan, yaitu buku yang difungsikan siswa untuk menuliskan hasil pekerjaan atau hasil tugas yang diberikan guru. Tugas-tugas ini bisa ditulis di buku kerja tersebut atau secara lepas.
Buku catatan, yaitu buku yang difungsikan untuk mencatat informasi atau hal-hal yang diperlukan dalam studinya. Lewat buku catatan ini siswa dapat mendalami dan memahami kembal dengan cara membaca ulang pada kesempatan lain.
Buku bacaan, yaitu buku yang memuat kumpulan bacaan, informasi, atau uraian yang dapat memperluas pengetahuan siswa tentang bidang tertentu. Buku ni dapat menunjang bidang studi tertentu dalam memberikan wawasan kepada siswa.

3. Pandangan Ahli Pendidikan terhadap Buku Teks

Kehadiran buku teks di dunia pendidikan disikapi oleh ahli pendidikan dengan berbagaimacam versi. Ada yang bersikap negatif, ada yang bersikap positif, dan adapula yan bersikap moderat. Ketiga pandangan yang berbeda ini didasari oleh alasan yang bertolak belakangsatu dengan lainnya.

Pandangan Negatif terhadap Buku Teks

Para ahli pendidikan yang bersikap negatif atau “antipati” atas kehadiran buku teks di dunia pendidikan didasarkan oleh kenyataan berikut.
Buku teks kurang memperhatikan perbedaan individual siswa. Siswa sasaran dianggap homgen sehingga bahan ajar yang ada pada buku teks tersaji tanpa memperhatikan siswa yang ”uper” dan siswa yang ”lower”.
Desain buku teks sering tidak sesuai dengan desain kurikulum pendidikan. Akibatnya, dengan menggunakan buku teks tersebut, program pendidikan yang telah dirancang dalam kurikulum tidak tercapai.
Konteks dan bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering tidak sesuai dengan kondisi dan lingkunna siswa sasaran. Apabila hal ini terjadi, buku teks akan terkesan ”memaksa” siswa untuk belajar sesuatu yang ”tidak sesuai” dengan kondisi dirinya.
Bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering bias dan basi. Ini terjadi karena antara waktu penyusunan buku teks dan waktu pemakaiannya berselang terlalu lama. Akibatnya, informasi dan masalah yang terdapat dalam buku teks sudah ”kadaluarsa”, bahkan tidak sesuai lagi dengan yang sedang dihadapi siswa.

Ahli pendidikan yang apriori terhadap kehadiran buku tekas ini adalah ahli pendidikan yang mengikuti sistem pendiikan lama.

Pandangan Positif terhadap Buku Teks

Sebaliknya, ahli pendidikan yang bersikap positif atas kehadiran buku teks didasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut.
Buku teks merupakan ”the foundation of learning in classroom”. Anggapan ini didasarkan oleh kenyataan bahwa pengajaran yang dianggap efektif dan efisien adalah pengajaran klasikal. Kalau toh ada yang individual, sangatlah bersifat khusus, karena kondisi tertentu.
Buku teks memuat bahan ajar yang sebaiknya disajikan (what to teach) dan sekuensi atau urutan cara penyajiannya. Oleh karena itu penyusunan buku teks tentu memperhatikan bahan ajar mana yang patut dan sebaiknya disajikan, termasuk tata cara penyajian yang sesuai dengan jenis bahan dan kondisi siswa sasaran.
Jangkauan,jumlah, dan jenis bahan ajar yang terdapat dalam buku teks telah relatif pasti sehingga guru memungkinkan untuk mengalokasikannya berdasarkan jadwal sekolah. Dengan demikian, lewat pemakaian buku teks dapat terkontrol dengan ketat program pengajarannya.
Paparan masalah atau pokok persoalan (subject matter) dalam buku teks relatif teliti. Ketelitian ini terlihat mulai dari proses pemilihan bahan, klasifikasi bahan, sampai dengan proses penyusunannya. Hal ini hampir tidak mungkin dilakukan guru dengan bahan ajar yang disusunnya sendiri.
Bahan ajar dalam buku teks tertata cukup baik. Ini dapat dilihat dari cara penyajian bahan ajar yang memperhatikan hierarkhi dan tataletaknya sehingga mudah dipahami siswa. Tidak semua guru memiliki keterampilan menata bahan seperti yang terdapat pada buku teks.
Buku teks cukup banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar peta, dan diagram. Alat bantu ini akan dapat mempercepat pamahaman siswa atas bahan ajar yang sedang dipelajari. Pada umumnya, alat bantu semacam itu sulit diciptakan oleh guru dalam waktu yang relatif singkat.
Kesinambungan bahan ajar dalam buku teks telah diatur sedemikian rupa oleh penyusunnya. Lebih-lebih, apabila buku tersebut merupakan buku berseri. Hal ini dapat dimaklumi, sebab sebelum penyusunan buku teks dimulai, terlebih dahulu disusun kerangka (outline) secara menyeluruh. Dengan demikian, tidak dijumpai bahan ajar yang terlepas dari yang lain. Sebaliknya, bahan-bahan itu merupakan rangkaian yang utuh.
Buku teks merupakan batu loncatan bagi siswa. Dengan menggunakan buku teks, siswa terbebas dari kegiatan mencatat yang merupakan pemborosan waktu, tenaga, dan pikiran.
Buku teks sangat membantu sekolah yang tidak memiliki perpustakaan yang lengkap. Hal ini bisa dimaklumi karena buku teks berisi serangkaian bahan ajar yang minimal harus dikuasai atau dipahami siswa. Jika tidak lewat kemasan buku teks, bahan-bahan itu tentu berada di berbagai buku sumber.
Buku teks yang dipublikasikan oleh pemerintah dan pihak swasta telah dipertimbangkan kualitasnya. Pertimbangan kualitas ini merupakan konsekuensi logis. Sebab, kalau tidak, tentu akan merugikan pihak pemerintah dan penerbit swasta itu sendiri. Para pemakai buku teks (terutama guru) tentu tidak akan menggunakan secara maksimal, bahkan tidak mau menggunakannya, apabila buku teks tersebut tidak berkualitas.

Ahli pendidikan yang mendukung sepenuhnya kehadiran buku teks ini adalah ahli pendidikan modern.

Pandangan yang Moderat terhadap Buku Teks

Kedua pandangan tersebut sebenarnya boleh dikatakan sangatlah ekstrem, baik eksrem kiri dan ekstrem kanan. Kedua pendapat itu masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Lalu, timbullah pandangan yang moderat terhadap kehadiran buku teks. Pandangan ketiga ini diilhami oleh kenyataan bahwa tidak semua buku teks menguntungkan bagi pendidikan dan tidak semua pula buku teks merugikan bagi kelangsungan pendidikan. Beberapa argumentasi berikut ini menjadi alasan bagi pandangan yang moderat terhadap buku teks.

a. ”No one textbook is the best for all situation” (Romero dalam ”What Textbook Shall We Use”. Forum 2, 1975)
Argumentasi ini bisa dimaklumi sebab pada kenyataan memang tidak ada satu pun buku teks yang ampuh untuk semua situasi dan kondisi. Namun demikian, keterbatasan ini tidak boleh dipakai sebagai “kambing hitam” untuk tidak menggunakan buku teks. Keterbatasan ini harus diantisipasi guru pada saat mengasimilasikannya di kelas. Yang peru dipahami adalah buku teks merupakan sarana untuk mencapai tujuan pengajaran dan buku teks bukanlah pengajaran. Oleh karena itu, buku teks tidak bisa mengajar. Yang bisa mengajar adalah guru lewat sarana antara lain buku teks.

b. Tidak ada buku teks yang betul-betul bisa memenuhi harapan kurikulum. (J. N. Hook, 1965).
Pernyataan ini pun bisa dimaklumi. Memang tidak ada satu pun buku teks yang bisa memenuhi kebutuhan kurikulum secara total. Buku teks hanyalah salah satu sarana bukan satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan kurikulum. Walaupaun Garis-garis besar Program pengajaran (GBPP) atau silabus pada kurikulum tertentu dipakai sebagai acuan penyusunan bahan ajar pada buku teks, tetap tidak bisa menjamin bahwa buku teks dapat memenuhi kebutuhan kurikulum secra total. Sebab, faktor-faktor lain di luar buku teks juga ikut menentukannya, yaitu guru pemakai buku teks, siswa sasaran, situasi dan kondisi sekolah, dan aspek-aspek lainnya.

c. Tidak ada satu pun buku teks yang cocok untuk semua jenjang pendidikan.
Pernyataan ini tidak mengada-ada, bahkan bisa dimakluminya. Buku teks memang disusun dengan mempertimbangkan program tertentu, jenjang pendidikan tertentu, dan pola pikir siswa tertentu. Akibatnya, buku teks hanya cocok untuk “sasaran” tetentu saja.

Pandangan ketiga inilah yang memandang buku teks secara lebih objektif dan rasional. Sebab, buku teks akan berpran secara maksimal apabila memenuhi criteria ideal dan diasimilasikan oleh guru yang professional.


4. Kondisi Pemakaian Buku Teks

Selama ini terdapat anggapan dari sebagian besar masyarakat (khususnya komunitas pendidikan) bahwa buku teks sebagai penunjang pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas dikelompokkan menjadi dua, yaitu buku teks wajib dan buku teks penunjang. Buku teks wajib (juga biasa disebut buku paket) adalah buku teks yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional. Sementara itu, buku teks penunjang (juga biasa disebut buku pelengkap) adalah buku teks yang diterbitkan oleh penerbit swasta. Pendapat seperti itu sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmuan sebab kedua ”jenis” buku teks tersebut sama-sama berorientasi kepada kurikulum yang sedang berlaku, baik dari segi pendekatan, isi, maupun strateginya. Karena orientasinya sama, kedua jenis buku teks itu sebenarnya mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama dalam menunjang pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Anggapan dekotomis tersebut sebenarnya dipicu oleh kebijakan ”politis” pemerintah (sebelum era Reformasi) bahwa bahwa buku teks wajib mempunyai kedudukan ”utama”, sedangkan buku teks penunjang ini mempunyai kedudukan ”pelengkap”. Kebijakan pemerintah ini didasari pertimbangan bahwa apabila buku teks wajib ini kalah pengaruhnya dengan buku teks penunjang, akan berdampak pada keheterogenan hasil belajar siswa. Apabila keadaan ini terjadi, tentu akan menyulitkan pemerintah dalam menentukan sandardisasi kualitas atau keberhasilan belajar siswa. Kebijakan semacam ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila buku teks yang beredar (baik yang dterbitkan oleh pemerintah maupun swasta) telah mendapat kontrol lewat penilaian terlebih dahulu oleh lembaga yang kompeten atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah, lewat Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP).
Dilihat dari penyusunnya, buku teks wajib ini biasanya disusun oleh tim yang para anggotanya tentunya mempunyai kualitas yang dipersyaratkan. Bahkan, sebelum buku teks wajib ini diterbitkan, terlebih dahulu ditelaah kualitas atau kevaliditasannya baik dari segi isi, strategi, dan bahasa dalam forum lokakarya. Sementara itu, buku teks penunjang yang diterbitkan oleh swasta biasanya ditulis oleh penulis (baik sendiri mapun kelompok) yang berminat atau yang mempunyai pengalaman terhadap bidang pelajaran tertentu. Karena pertimbangan pasar, buku yang ditulisnya selain disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku, juga disesuaiakan dengan keinginan pasar. Bahkan, hal-hal tertentu yang dianggap lemah atau sumbeng dalam buku teks wajib akan dibenahi atau dilengkapi dalam buku teks penunjang ini.
Sebagai konsekuensinya, buku teks wajib yang diterbitkan oleh pemerintah disebarkan secara cuma-cuma ke sekolah-sekolah seluruh Indonesia. Hanya saja, jumlah buku yang disebarkan jauh di bawah kebutuhan siswa. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1994), misalnya, pernah mengakui bahwa karena keterbatasan dana, buku teks wajib yang disebarkan hanyalah 20% dari kebutuhan real. Ini berarti masih 80% yang belum bisa terlayani buku teks wajib. Di sinilah peran buku teks penunjang bisa berkiprah untuk ”menggantikan” posisi buku teks wajib. Kesempatan ini rupanya dimanfaatkan baik-baik oleh penerbit swasta untuk mengisi kekosongan tersebut.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, buku teks yang beredar (baik buku teks wajib maupun penunjang) dijumpai keganjilan-keganjilan. Keganjilan yang dimaksud terlihat sebagai berikut.
- Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan kurikulum.
- Terdapat buku teks yang berisi pokok-pokok materi (semacam ringkasan).
- Terdapat buku teks yang uraiannya sangat teknis.
- Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan pola pikir siswa.
- Terdapat buku teks yang kurang ”aplicable”.
Perhatian khusus terhadap keganjilan buku teks ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan arti buku teks dalam dunia pendidikan, tetapi justru untuk memacu peningkatan kualitas buku teks setelah dikaitkan dengan kedudukan dan fungsinya yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembelajran siswa di kelas.
Semenjak pemberlakuan kurikulum 1984 sampai dengan sekarang (Kurikulum 2006 atau KTSP) kehadiran buku teks sebagai penunjang pelaksanaan pembelajaran cukup dominan bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perhatian serius pemerintah terhadap dunia pendidikan dan minat dominan penerbit swasta terhadap penerbitan buku teks. Keberagaman buku teks yang beredar haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kalangan pendidikan, terutama guru. Sebab, dengan demikian, guru bisa memilih dengan leluasa: mana buku teks yang mempunyai kriteria ideal baik dilihat dari kesesuaiannya dengan kurikulum, kesesuaiannya bagi siswanya, maupun tingkat dan daya aplikasinya.
Di sisi lain, di lapangan dijumpai adanya anggapan bahwa buku teks wajib merupakan ”buku suci”. Anggapan yang ekstrem ini sebenarnya tidak perlu terjadi, sebab pada dasarnya tidak ada satu pun buku teks, termasuk buku teks wajib, yang ampuh untuk segala-galanya: kapan dan di mana saja. Sebab, pada saat diaplikasikan, buku teks (termasuk yang wajib) masih tetap perlu disiasati guru sebelum dipakai dalam pembelajaran. Misalnya, apakah sajian bahan ajarnya sudah sesuai dengan GBPP atau Kompetensi Dasar yang ingin dicapai; apakah strategi penyampaiannya sudah sesuai dengan pembelajaran yang disarankan Kurikulum, apakah pola pengembangan bahan ajar sesuai dengan perkembangan siswa, dan sebagainya, dan sebagainya.
Selain itu, masih dijumpai juga pelaksanaan pembelajaran yang berorientasi penuh kepada buku teks, tanpa melihat kurilulum (khususnya GBPP dan silabus yang telah dirancang) yang menjadi acuannya. Ketergantungan guru ini dibuktikan dengan gejal-gejala berikut.
- Guru menerangkan satu per satu uraian bahan ajar yang ada pada buku teks, tanpa melihat pokok bahasan yang terdapat dalam GBPP atau silabus.
- Guru melakukan langkah-langkah pembelajaran yang tertuang dalam buku teks, tanpa melihat kesesuaiannya dengan pembelajaran yang disarankan dalam GBPP atau silabus.
- Guru mengembangkan rencana atau skenario pembelajaranb dari bahan ajar yang terdapat dalam buku teks, tanpa melihat tujuan pembelajaran (kompetensi dasar yang ingin dicapai) dan bahan ajar (pokok bahasan) yang terdapat dalam GBPP atau silabus.
- Butir-butir evaluasi pun diambilkan dari pertanyaan atau tugas yang terdapat dalam buku teks tanpa ada upaya menghubungkannya dengan atau mengembangkan dari tujuan pembelajaran atau indikator dari kompetensi dasar yang telah ditentukan.

Keadaan yang timpang ini tentunya patut dicari penyebabnya. Sehubungan dengan itu, Mills dan Doeglass (1957:255-263) menyebutkan secara rinci faktor penyebab ketergantungan guru terhadap buku teks sebagai berikut.
- Guru kurang dipersiapkan secara matang tehadap subjek yang diajarkan.
- Guru lebih banyak diberikan problematik bidang studi di tingkat perguruan tinggi, tetapi sangat kurang disajikan problematik yang relevan denagn sekolah tempat mereka mengajar.
- Guru kurang dilatih merencanakan bahan pembelajaran.
- Tradisi yang menganggap bahw buku teks sebagai sumber lengkap yang siap disajikan masih sangat dominan.
- Pengaruh penggunaan tes baku sebagai alat pengukur prestasi belajar.
Kelima faktor penyebab itu haruslah diantisipasi oleh pihak yang bertanggung jawab, baik oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (c. q. Direktorat Sarana Pendidikan) maupun oleh lembaga pendidkan tenaga kependidikan (LPTK), agar tidak terjadi ketimpangan yang berkelanjutan.

1 komentar:

abd mengatakan...

saya seorng guru swasata disekolah swata, saya ingin menulis buku pelajaran, langkah apa yang harus aku lakukan? mohon pencerahan
trimakasih