Diberitahukan kepada semua peserta Matakuliah Menulis Buku Ajar yang dibina oleh Masnur Muslich bahwa mulai 1 Oktober 2009 ini semua hasil tugas kelompok harus dalaporkan secara tertulis dengan cara mem-posting -nya label "komentar" di bawah ini.
Setiap laporan hasil tugas kelompok harus mencantumkan:
1. Judul Tugas
2. Kelas/Offering
3. Nama anggota kelompok dan NIM-nya masing-masing
4. Uraian hasil tugas
Dengan cara demikian, kelompok lain akan mengetahuinya bahkan mungkin akan memberikan komentar terkait dengan isi laporan tersebut.
Pada tahap pertama ini, semua kelompok harap melaporkan hasil tugas telaah buku ajar, baik kelompok yang sudah mempresentasikannya di depan kelas maupun kelompok yang belum mempresentasikannya.
Harap diperhatikan.
Rabu, 30 September 2009
Kegiatan Telaah Buku Ajar pada Matakuliah Menulis Buku Ajar yang Dibina Masnur Muslich
Peserta Matakuliah Menulis Buku Ajar Offering D Kelas AA sedang menyampaikan hasil telaah buku ajar secara bergilir di depan kelas.
Peserta Matakuliah Menulis Buku Ajar Offering A sedang menyampaikan hasil telaah buku ajar secara bergilir di depan kelas.
Secara umum hasil telaah buku ajar dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Masih dijumpai sajian materi buku ajar yang kurang sesuai dengan perkembangan siswa sasaran sehingga terasa sult dicerna leh siswa.
2. Masih dijumpai sajan buku ajar yang terkesan teoretis dan kurang ilustrasu sehingga tidak jauh berbeda dengan buku referensi.
3. Masih dijumpai sajian buku ajar yang tidak sesuai dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai. Misalnya, kompetensi dasarnya "siswa dapat menulis surat pribadi" tetapi sajiannya berupa penjelasan teoretis tentang menulis surat pribadi.
4. Masih dijumpai sajian materi buku ajar yang tidak/kurang melibatkan siswa untuk mencari, mengamati, mencoba, dan menyimpulkan sendiri. Siswa selalu diberi "ikan", tidak/kurang ada kesempatan siswa untuk "mengail ikan" sendiri.
5. Masih dijumpai format buku ajar yang kurang menarik sehingga membosankan bagi siswa ketika mempelajarinya.
6. Masih dijumpai tata letak buku ajar yang masih monoton sehingga siswa cepat bosan ketika membacanya.
Peserta Matakuliah Menulis Buku Ajar Offering A sedang menyampaikan hasil telaah buku ajar secara bergilir di depan kelas.
Secara umum hasil telaah buku ajar dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Masih dijumpai sajian materi buku ajar yang kurang sesuai dengan perkembangan siswa sasaran sehingga terasa sult dicerna leh siswa.
2. Masih dijumpai sajan buku ajar yang terkesan teoretis dan kurang ilustrasu sehingga tidak jauh berbeda dengan buku referensi.
3. Masih dijumpai sajian buku ajar yang tidak sesuai dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai. Misalnya, kompetensi dasarnya "siswa dapat menulis surat pribadi" tetapi sajiannya berupa penjelasan teoretis tentang menulis surat pribadi.
4. Masih dijumpai sajian materi buku ajar yang tidak/kurang melibatkan siswa untuk mencari, mengamati, mencoba, dan menyimpulkan sendiri. Siswa selalu diberi "ikan", tidak/kurang ada kesempatan siswa untuk "mengail ikan" sendiri.
5. Masih dijumpai format buku ajar yang kurang menarik sehingga membosankan bagi siswa ketika mempelajarinya.
6. Masih dijumpai tata letak buku ajar yang masih monoton sehingga siswa cepat bosan ketika membacanya.
Rabu, 23 September 2009
KIAT PENULISAN BUKU TEKS BERBASIS KETERAMPILAN BERBAHASA
Dawud
Jurusan Sastra Indonesia
Fakustas Sastra Universitas Negeri Malang
I. MEMAHAMI DAN MENGIDENTIFIKASI KEDUDUKAN STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR
Penulisan Buku Teks Bahasa Indonesia harus didasarkan pada pemahaman yang memadai tentang kedudukan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Secara garis besar, Standar Kompetensi dibedakan atas
(1)Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL SP)
(2)Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SKKMP)
(3)Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran (SKL MP)
(4)Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
A.Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan dengan penjelasan sebaai berikut.
•Pendidikan Dasar (SD/MI/SDLB/Paket A dan SMP/MTs./SMPLB/Paket B) bertujuan: Meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
•Pendidikan Menengah yang terdiri atas SMA/MA/SMALB/Paket C bertujuan: Meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
•Pendidikan Menengah Kejuruan yang terdiri atas SMK/MAK bertujuan: Meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya
Berdasarkan tujuan tersebut, Standar Kompetensi Lulusan
(1)SD dan yang sederajat ada 17 SKL-SP dan yang memiliki relevansi langsung dengan pembelajaran Bahasa Indonesia adalah
a.Menggunakan informasi tentang lingkungan sekitar secara logis, kritis, dan kreatif (butir 5)
b.Menunjukkan kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa, negara, dan tanah air Indonesia (butir 11)
c.Menunjukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan seni dan budaya lokal (butir 12)
d.Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis (butir 16)
e.Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung (butir 17)
(2)SMP dan yang sederat ada 21 SKL-SP dan yang memiliki relevansi langsung dengan pembelajaran Bahasa Indonesia adalah
a.Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif (butir 6)
b.Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun (butir 16)
c.Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana (butir 19)
d.Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana (butir 20)
(3)SMA/MA/SMK/MAK ada 23 SKL-SP dan dan yang memiliki relevansi langsung dengan pembelajaran Bahasa Indonesia adalah
a.Membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif (butir 6)
b.Mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya (butir 14)
c.Mengapresiasi karya seni dan budaya (15)
d.Menghasilkan karya kreatif, baik individual maupun kelompok (16)
e.Berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif dan santun (butir 18)
f.Menunjukkan keterampilan membaca dan menulis naskah secara sistematis dan estetis (butir 21)
g.Menunjukkan keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Indonesia dan Inggris (butir 22)
B. Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SKKMP)
Pembelajaran Bahasa Indonesia bersama dengan mata pelajaran lain bertujuan untuk (1) membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air; (2) mengembangkan logika, kemampuan berpikir dan analisis peserta didik; (3) membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya.
Berdasarkan tujuan tersebut, standar kompetensi kelompok mata pelajaran yang yang memiliki kegayutan langsung dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia, antara lain, adalah
(1)SD dan yang sederajat
a.Berkomunikasi secara santun
b.Menunjukkan kegemaran membaca
(2)SMP dan yang sederajat
a.Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun
b.Menunjukkan sikap percaya diri
c.Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis
d.Menghargai karya seni dan budaya nasional Indonesia
(3)SMA dan yang sederajat
a.Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun melalui berbagai cara termasuk pemanfaatan teknologi informasi
b.Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis
c.Berkarya secara kreatif, baik individual maupun kelompok
d.Menunjukkan apresiasi terhadap karya estetika
C. STANDAR KOMPETENSI LULUSAN MATA PELAJARAN: Bahasa Indonesia
(1)SEKOLAH DASAR (SD)/ MADRASAH IBTIDAIYAH (MI)
a.Mendengarkan
Memahami wacana lisan berbentuk perintah, penjelasan, petunjuk, pesan, pengumuman, berita, deskripsi berbagai peristiwa dan benda di sekitar, serta karya sastra berbentuk dongeng, puisi, cerita, drama, pantun dan cerita rakyat
b.Berbicara
Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan perkenalan, tegur sapa, percakapan sederhana, wawancara, percakapan telepon, diskusi, pidato, deskripsi peristiwa dan benda di sekitar, memberi petunjuk, deklamasi, cerita, pelaporan hasil pengamatan, pemahaman isi buku dan berbagai karya sastra untuk anak berbentuk dongeng, pantun, drama, dan puisi
c.Membaca
Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana berupa petunjuk, teks panjang, dan berbagai karya sastra untuk anak berbentuk puisi, dongeng, pantun, percakapan, cerita, dan drama
d.Menulis
Melakukan berbagai jenis kegiatan menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk karangan sederhana, petunjuk, surat, pengumuman, dialog, formulir, teks pidato, laporan, ringkasan, parafrase, serta berbagai karya sastra untuk anak berbentuk cerita, puisi, dan pantun
(2)SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)/MADRASAH TSANAWIYAH (MTs): Bahasa Indonesia
a.Mendengarkan
Memahami wacana lisan dalam kegiatan wawancara, pelaporan, penyampaian berita radio/TV, dialog interaktif, pidato, khotbah/ceramah, dan pembacaan berbagai karya sastra berbentuk dongeng, puisi, drama, novel remaja, syair, kutipan, dan sinopsis novel
b.Berbicara
Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, pengalaman, pendapat, dan komentar dalam kegiatan wawancara, presentasi laporan, diskusi, protokoler, dan pidato, serta dalam berbagai karya sastra berbentuk cerita pendek, novel remaja, puisi, dan drama
c.Membaca
Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami berbagai bentuk wacana tulis, dan berbagai karya sastra berbentuk puisi, cerita pendek, drama, novel remaja, antologi puisi, novel dari berbagai angkatan
d.Menulis
Melakukan berbagai kegiatan menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk buku harian, surat pribadi, pesan singkat, laporan, surat dinas, petunjuk, rangkuman, teks berita, slogan, poster, iklan baris, resensi, karangan, karya ilmiah sederhana, pidato, surat pembaca, dan berbagai karya sastra berbentuk pantun, dongeng, puisi, drama, puisi, dan cerpen
(3)SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)/ MADRASAH ALIYAH (MA): Bahasa Indonesia
•Program IPA dan IPS
a.Mendengarkan
Memahami wacana lisan dalam kegiatan penyampaian berita, laporan, saran, berberita, pidato, wawancara, diskusi, seminar, dan pembacaan karya sastra berbentuk puisi, cerita rakyat, drama, cerpen, dan novel
b.Berbicara
Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan berkenalan, diskusi, bercerita, presentasi hasil penelitian, serta mengomentari pembacaan puisi dan pementasan drama
c.Membaca
Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana tulis teks nonsastra berbentuk grafik, tabel, artikel, tajuk rencana, teks pidato, serta teks sastra berbentuk puisi, hikayat, novel, biografi, puisi kontemporer, karya sastra berbagai angkatan dan sastra Melayu klasik
d.Menulis
Menggunakan berbagai jenis wacana tulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk teks narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, teks pidato, proposal, surat dinas, surat dagang, rangkuman, ringkasan, notulen, laporan, resensi, karya ilmiah, dan berbagai karya sastra berbentuk puisi, cerpen, drama, kritik, dan esei
•Program Bahasa
a.Mendengarkan
Memahami wacana lisan dalam kegiatan pidato, ceramah/khotbah, wawancara, diskusi, dialog, penyampaian berita, presentasi laporan
b.Berbicara
Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, informasi, dan pengalaman dalam kegiatan presentasi hasil penelitian, laporan pembacaan buku, dan presentasi program, bercerita, wawancara, diskusi, seminar, debat, dan pidato tanpa teks
c.Membaca
Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana tulis berbentuk esei, artikel, dan biografi
d.Menulis
Mengungkapkan pikiran dan informasi dalam wacana tulis berbentuk teks deskripsi, narasi, eksposisi, persuasi dan argumentasi, ringkasan/rangkuman, laporan, karya ilmiah, makalah, serta surat lamaran
e.Kebahasaan
Memahami dan menggunakan berbagai komponen kebahasaan, baik fonologi, morfologi, maupun sintaksis dalam wacana lisan dan tulis
D. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar: Bahasa Indonesia
Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.
Standar kompetensi yang merupakan kualifikasi menimial yang harus dicapai oleh peserta didik ditujukan untuk mencapai 6 (enam) tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, baik SD,SMP, dan SMA (sederajat), yakni agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
(1)Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis
(2)Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara
(3)Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan
(4)Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial
(5)Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa
(6)Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Standar kompetensi pembelajaran Bahasa Indonesia diklasifikasi atas ruang lingkup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra, yakni mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Standar kompetensi pada komponen kemampuan berbahasa dan bersastra tersebut dijabarkan dalam kompetensi dasar yang disajikan pada setiap tingkat dan/atau semester (suatu) satuan pendidikan.
II.MENGIDENTIFIKASI DAN MENGEMBANGKAN INDIKATOR KOMPETENSI DASAR
Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan, Standar Kompetensi Lulusan Kelompok Mata Pelajaan, Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran, Standar Kompetensi, dan Kompetensi Dasar telah tersedia dalam kurikulum. Tugas penulis buku teks adalah memahami konsepnya dan memahami hubungan serta kedudukan antar strandar kompetensi tersebut.
Tugas penulis buku teks berikutnya adalah mengidentifikasi dan mengembangkan indikator-indikator kompetensi dasar. Indikator-indikator tersebut tidak terdapat dalam kurikulum. Indikator kompetensi dasar tersebut dikembangkan berdasarkan bangun keilmuan
(1)bahasa dan sastra Indonesia;
(2)kemahiran berbahasa dan bersastra Indoneisa; dan
(3)belajar dan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Berikut sebuah contoh mengidentifikasi dan mengembangkan indikator kompetensi dasar.
Kelas VII, Semester 1
STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR
Menulis
4. Mengungkapkan pikiran dan pengalaman dalam buku harian dan surat pribadi
4.1 Menulis buku harian atau pengalaman pribadi dengan memperhatikan cara pengungkapan dan bahasa yang baik dan benar
4.2 Menulis surat pribadi dengan memperhatikan komposisi, isi, dan bahasa
4.3 Menulis teks pengumuman dengan bahasa yang efektif, baik dan benar
Pada kelas VII, Semester 1, terdapat Standar Komptensi (Menulis) Mengungkapkan pikiran dan pengalaman dalam buku harian dan surat pribadi. Indikator Standar kompetensi tersebut dapat diidentifikasi
• mengungkapkan pikiran dalam tulisan
• mengungkapkan pengalaman dalam tulisan.
• menulis buku harian
• menulis surat pribadi
Keempat indikator standar kompetensi tersebut, dalam kurikulum, dirumuskan, digabung, dan dibatasi dalam 3 (tiga) kompetensi dasar, yakni
4.1 Menulis buku harian atau pengalaman pribadi dengan memperhatikan cara pengungkapan dan bahasa yang baik dan benar
4.2 Menulis surat pribadi dengan memperhatikan komposisi, isi, dan bahasa
4.3 Menulis teks pengumuman dengan bahasa yang efektif, baik dan benar
Indikator keempat kompetensi dasar tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut.
• Menulis buku harian/pengalaman pribadi
Mengungkapkan pikiran (saat dan sesudah mengalami suatu peristiwa)
Mengungkapkan pengalaman pribadi
Menggunakan bahasa yang efektif, baik, dan benar (sesuai dengan karakteristik buku harian/pengalaman pribadi)
• Menulis surat pribadi
Komposisi surat pribadi
Isi surat pribadi
Bahasa surat pribadi
• Menulis teks pengumuman (diutamakan berdasarkan pengalaman pribadi)
Komposisi teks pengumuman
Isi teks pengumuman
Bahasa teks pengumuman yang efektif, baik, dan benar
Berdasarkan indikator tersebut, penulis buku teks keterampiran berbahasa harus mencari rujukan teoretis dan konseptual yang benar, setidak-tidaknya, tentang (cara-cara menyusun):
(1) Buku Harian atau tulisan (artikel, misalnya) pengalaman pribadi
• Karakteristik buku harian atau artikel pengalaman pribadi
Wujud
Unsur
Sifat
Tujuan penulisan
• Cara pengungkapan pikiran/pengalaman dalam buku harian/artikel pengalaman pribadi
Ekspresi: lucu, sedih, gembira
Isi: ringan dan keseharian
• Bahasa yang efektif, baik, dan benar
Pilihan kata & ungkapan
Struktur kalimat & wacana
(2)Surat Pribadi
• arakteristik surat pribadi
Wujud
Unsur
Tujuan penulisan
• Komposisi surat pribadi
Alamat
Pembuka
Isi
Penutup
Pengirim
• Bahasa surat pribadi
Pilihan kata & ungkapan
Struktur kata, kalimat & wacana
(3)Teks Pengumuman
• Jenis pengumuman (yang dipilih)
• Komposisi
Tata letak
Huruf /fon
Warna
• Isi
Sasaran yang dituju
Pembuka
Pokok
Penutup
Memberi pengumuman
• Bahasa
Pilihan kata
Struktur kalimat & wacana
Pilihan ungkapan deklarasi dan persuasi
III. PENGEMBANGAN INDIKATOR KOMPETENSI DASAR KE DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
Indikator kompetensi dasar dan pokok-pokok bahan konseptual dan teoretis tersebut diwujudkan dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dapat diklasifikasi atas kegiatan pembuka, kegiatan pokok, dan kegiatan penutup. Kegiatan pembuka dapat berisi kegatan apersepsi atau kegiatan prasyarat untuk masuk ke kegiatan pokok. Kegiatan pokok merupakan perwujudan indikator kompetensi dasar yang berisi kegiatan pembelajaran. Kegiatan penutup dapat berupa kegiatan pengayaan atau kegiatan penilaian.
Berikut contoh pengembangan menulis buku harian.
Kegiatan Awal
A. Mengembangkan Kalimat Topik secara Terbimbing
B. Mengembangkan Kalimat Topik secara Kreatif
(Catatan: kegiatan awal yangdipilih adalah kegiatan prasyarat untuk menulis, yakni menulis kalimat topik dan mengembangkan kalimat topik secara kreatif dengan menuliskan kalimat-kalimat penjelasnya)
Kegiatan Pokok
C. Mengenali Unsur-Unsur Suatu Peristiwa
D. Mencermati Model Penulisan di Buku Harian
Model 1
Senin, 14 Juli 2007, hari pertama di sekolah
07.00—08.00. Teman baru banyak yang tak kukenal. Hanya Ina teman SD-ku yang satu sekolah, nggak satu kelas lagi. Upacara beda regu. Arahan guru dan OSIS.
08.30—10.00. Di kelas, diatur kakak OSIS. Berlagak. Sok ngatur.
Selasa, 15 Juli 2007, pukul 12.30 di kantin sekolah.
Perut keroncongan. Antre bejibun. Habis orientasi dan baris, sama-sama lapar. Nanti aja beli bakso di depan kos
Rabu, 16 Juli 2007, di rumah kos
Belajar masak (biar irit). Konyol, nasi hitam, gosong
Sabtu, 19 Juli, tepi danau, 17.30
Kemah di danau dekat bukit kecil. Langit senja kemerahan. Andai bukit ini ditumbuhi bunga, kayak di manca, wuah indahnya. Tapi, apa pun kemah ini mengesankan, rasa nano-nano: dingin, jengkel, kadang takut, dan .... bergembiara ria
Sabtu, akhir bulan
Dua minggu indekos. Uang menipis, malam minggu kelabu. Mau beli mie bakso nggak kesampaian. Wajah Mama tampak dalam bayangan. Ok! Mam, masakanmu terueeenaak di dunia, ternyata
Model 2
Singkawang, 22 November 2007, pk. 20.00
Malam ini aku benar-benar lelah, baik badan maupun pikiran. Badanku lelah karena seharian bekerja keras membantu korban tanak longsor di daerah ini, sedangkan pikiranku letih mengingat betapa pilunya hatiku melihat keadaan para korban.
Hari ini aku dan teman-teman harus menolong dua orang korban lagi yang baru ditemukan. Yang seorang bernama Dini, seorang gadis kecil yang selamat dari reruntuhan rumahnya, sedangkan yang seorang lagi seorang bapak yang patah kakinya karena tertimpa dahan ketika berlari menyelamatkan diri. Keadaan Dinilah yang benar-benar membuat hatiku trenyuh. Ia adalah gadis kecil yang tak berdaya, sementara kedua orang tuanya meninggal tertimbun tanah longsor. Sementara ini, ia kutitipkan pada Ibu Fatimah. Melihat kondisi Ibu Fatimah yang juga dalam keadaan sengsara, terpikir olehku untuk membawa Dini ke rumahku. Tetapi apakah mungkin? Nantilah kupikirkan lagi
Hari ini Andi banyak membantuku. Kulihat ia sangat kuat dan tak mengenal lelah. Menurut informasi dari Posko, masih ada sekitar enam orang yang belum ditemukan. Besok teman-teman masih akan membantu pencarian korban. Menurut pendapatku, lereng sebelah selatanlah yang harus diperhatikan sebab di sana rumah penduduknya lebih rapat. Akan tetapi, untuk soal ini Kak Amri tetap ngotot untuk menyusuri lereng utara. Ya, biarlah!
E. Menulis Catatan di Buku Harian
(Catatan: kegiatan pokok yang dipilih adalah kegiatan deduktif-induktif; teori dan praktik; teori-contoh-praktik menulis)
Kegiatan Penutup
(Catatan: Kegiatan penutup yang dipilih adalah kegiatan pengayaan. Kegiatan ini dilakukan secara terintegasi dengan kemampuan bersastra, yakni membaca novel dan cerpen; dan mengenali piranti kohesi melalui membaca cerpen)
F. Mengenali Unsur-Unsur Suatu Peristiwa dalam Novel Laskar Pelangi
(Dikutipkan Novel Laskar Pelangi hlm 256—268)
G. Mengenali Kepaduan Paragraf dalam Cerita Pendek Dermaga karya Lan Fang
Dermaga
Aku sedang berada di dermaga. Aku sangat suka dermaga. Dari pinggir dermaga, aku bisa melihat laut lepas dan langit luas. Menurutku, dermaga adalah sebuah tempat yang nyaman. Dermaga juga sebuah sandaran. Setelah jauh melaut, bukankah harus kembali? Dan dermaga adalah tempat melabuhkan semua penat.
Ini dermaga di ujung laut Gresik. Hanya sebuah dermaga sederhana yang ditata dari kayu. Laut sedang surut sehingga tepinya tampak seperti lumpur. Ada beberapa ketam kecil berlarian di atasnya. Perahu-perahu kayu sedang tertambat. Ada nelayan yang sedang menjahit jaring. Juga ada yang sekadar cangkruk menunggu waktu melaut.
Dermaga ini jauh berbeda dengan Dermaga Docklands di Melbourne yang pernah kukunjungi. Itu dermaga tempat merapat kapal-kapal motor. Laut dan langitnya tampak sangat biru. Di tepinya ada sebuah bar. Di sana kami pertama kali bertemu sekaligus berpisah tanpa kata-kata perpisahan.
Sebetulnya sebuah dermaga tidak terlalu perlu untuk diingat-ingat. Tepatnya, aku tidak perlu mengingat-ingat dia lagi. Bukankah kami sudah berpisah? Dan tidak ada yang perlu diingat dari perpisahan.
Tetapi dermaga selalu membuatku teringat kepadanya. Ia memiliki sepasang mata yang sangat kukagumi. Juga tak mungkin kulupakan. Sepasang mata indah yang teduh. Bening seperti pantulan cermin. Bagai langit yang becermin pada laut. Atau laut yang mengaca kepada langit. Entahlah. Itu tidak terlalu perlu bagiku. Karena aku melihat pantulan diriku di matanya.
Tetapi aku bukan sekadar menyukai matanya. Aku juga menyukai rambutnya yang berwarna seperti helai-helai jagung. Terlebih lagi bibirnya yang terlihat segar. Kupikir, itu bibir yang enak untuk dicium.
"Aku tidak merokok," jawabnya ketika hampir setengah hari kami bersama. Ia sama sekali tidak mengeluarkan sebatang rokok pun.
Pantas saja! Aku suprise sekali.
"Tapi aku suka nge-bir," sambungnya sambil tertawa. Tampak menarik sekali.
Sejak hari itu ia selalu mentraktirku minum sambil duduk-duduk di pelataran Dermaga Docklands. Ia pemilik Fish Bar. Sebuah bar yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil di tepian Dermaga Docklands. Ia meletakkan banyak kursi dan meja bulat di pelatarannya. Sehingga dari pelataran bisa mencium udara laut. Udara yang membuat dadaku terasa lapang ketika mengirupnya dalam-dalam.
Aku sudah seminggu di Melbourne. Kantorku sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan sedang membuat iklan untuk promosi sebuah biro perjalanan. Aku diberi waktu sebulan untuk memotret Australia. Dan kupilih Melbourne sebagai tempat tinggalku untuk sementara. Karena bagiku Melbourne tidak sesibuk Sydney.
Aku kerasan di sini. Aku sangat menikmati trotoar Melbourne yang lebar, rapi, dan bersih. Tidak banyak kendaraan lalu lalang dengan berisik, berdebu, dan semrawut. Mataharinya juga tidak seterik Surabaya. Sehingga aku lebih sering berjalan kaki bila hendak menjemput senja di Dermaga Docklands.
Awal perkenalanku dengannya sangat klise. Seperti adegan roman remaja saja. Sebagai pemilik Fish Bar sudah tentu ia harus ramah kepada pengunjung barnya. Memberikan senyum, menyapa, "Hallo, how are you?" dan "thank you" untuk segelas minuman yang kubayar. Tidak ada yang istimewa.
...................
Cerpen Lan Fang Dimuat di Jawa Pos 01/20/2008
Jurusan Sastra Indonesia
Fakustas Sastra Universitas Negeri Malang
I. MEMAHAMI DAN MENGIDENTIFIKASI KEDUDUKAN STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR
Penulisan Buku Teks Bahasa Indonesia harus didasarkan pada pemahaman yang memadai tentang kedudukan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Secara garis besar, Standar Kompetensi dibedakan atas
(1)Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL SP)
(2)Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SKKMP)
(3)Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran (SKL MP)
(4)Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
A.Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) dikembangkan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan dengan penjelasan sebaai berikut.
•Pendidikan Dasar (SD/MI/SDLB/Paket A dan SMP/MTs./SMPLB/Paket B) bertujuan: Meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
•Pendidikan Menengah yang terdiri atas SMA/MA/SMALB/Paket C bertujuan: Meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
•Pendidikan Menengah Kejuruan yang terdiri atas SMK/MAK bertujuan: Meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya
Berdasarkan tujuan tersebut, Standar Kompetensi Lulusan
(1)SD dan yang sederajat ada 17 SKL-SP dan yang memiliki relevansi langsung dengan pembelajaran Bahasa Indonesia adalah
a.Menggunakan informasi tentang lingkungan sekitar secara logis, kritis, dan kreatif (butir 5)
b.Menunjukkan kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa, negara, dan tanah air Indonesia (butir 11)
c.Menunjukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan seni dan budaya lokal (butir 12)
d.Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis (butir 16)
e.Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung (butir 17)
(2)SMP dan yang sederat ada 21 SKL-SP dan yang memiliki relevansi langsung dengan pembelajaran Bahasa Indonesia adalah
a.Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif (butir 6)
b.Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun (butir 16)
c.Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana (butir 19)
d.Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana (butir 20)
(3)SMA/MA/SMK/MAK ada 23 SKL-SP dan dan yang memiliki relevansi langsung dengan pembelajaran Bahasa Indonesia adalah
a.Membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif (butir 6)
b.Mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya (butir 14)
c.Mengapresiasi karya seni dan budaya (15)
d.Menghasilkan karya kreatif, baik individual maupun kelompok (16)
e.Berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif dan santun (butir 18)
f.Menunjukkan keterampilan membaca dan menulis naskah secara sistematis dan estetis (butir 21)
g.Menunjukkan keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Indonesia dan Inggris (butir 22)
B. Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SKKMP)
Pembelajaran Bahasa Indonesia bersama dengan mata pelajaran lain bertujuan untuk (1) membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air; (2) mengembangkan logika, kemampuan berpikir dan analisis peserta didik; (3) membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya.
Berdasarkan tujuan tersebut, standar kompetensi kelompok mata pelajaran yang yang memiliki kegayutan langsung dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia, antara lain, adalah
(1)SD dan yang sederajat
a.Berkomunikasi secara santun
b.Menunjukkan kegemaran membaca
(2)SMP dan yang sederajat
a.Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun
b.Menunjukkan sikap percaya diri
c.Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis
d.Menghargai karya seni dan budaya nasional Indonesia
(3)SMA dan yang sederajat
a.Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun melalui berbagai cara termasuk pemanfaatan teknologi informasi
b.Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis
c.Berkarya secara kreatif, baik individual maupun kelompok
d.Menunjukkan apresiasi terhadap karya estetika
C. STANDAR KOMPETENSI LULUSAN MATA PELAJARAN: Bahasa Indonesia
(1)SEKOLAH DASAR (SD)/ MADRASAH IBTIDAIYAH (MI)
a.Mendengarkan
Memahami wacana lisan berbentuk perintah, penjelasan, petunjuk, pesan, pengumuman, berita, deskripsi berbagai peristiwa dan benda di sekitar, serta karya sastra berbentuk dongeng, puisi, cerita, drama, pantun dan cerita rakyat
b.Berbicara
Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan perkenalan, tegur sapa, percakapan sederhana, wawancara, percakapan telepon, diskusi, pidato, deskripsi peristiwa dan benda di sekitar, memberi petunjuk, deklamasi, cerita, pelaporan hasil pengamatan, pemahaman isi buku dan berbagai karya sastra untuk anak berbentuk dongeng, pantun, drama, dan puisi
c.Membaca
Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana berupa petunjuk, teks panjang, dan berbagai karya sastra untuk anak berbentuk puisi, dongeng, pantun, percakapan, cerita, dan drama
d.Menulis
Melakukan berbagai jenis kegiatan menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk karangan sederhana, petunjuk, surat, pengumuman, dialog, formulir, teks pidato, laporan, ringkasan, parafrase, serta berbagai karya sastra untuk anak berbentuk cerita, puisi, dan pantun
(2)SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)/MADRASAH TSANAWIYAH (MTs): Bahasa Indonesia
a.Mendengarkan
Memahami wacana lisan dalam kegiatan wawancara, pelaporan, penyampaian berita radio/TV, dialog interaktif, pidato, khotbah/ceramah, dan pembacaan berbagai karya sastra berbentuk dongeng, puisi, drama, novel remaja, syair, kutipan, dan sinopsis novel
b.Berbicara
Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, pengalaman, pendapat, dan komentar dalam kegiatan wawancara, presentasi laporan, diskusi, protokoler, dan pidato, serta dalam berbagai karya sastra berbentuk cerita pendek, novel remaja, puisi, dan drama
c.Membaca
Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami berbagai bentuk wacana tulis, dan berbagai karya sastra berbentuk puisi, cerita pendek, drama, novel remaja, antologi puisi, novel dari berbagai angkatan
d.Menulis
Melakukan berbagai kegiatan menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk buku harian, surat pribadi, pesan singkat, laporan, surat dinas, petunjuk, rangkuman, teks berita, slogan, poster, iklan baris, resensi, karangan, karya ilmiah sederhana, pidato, surat pembaca, dan berbagai karya sastra berbentuk pantun, dongeng, puisi, drama, puisi, dan cerpen
(3)SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)/ MADRASAH ALIYAH (MA): Bahasa Indonesia
•Program IPA dan IPS
a.Mendengarkan
Memahami wacana lisan dalam kegiatan penyampaian berita, laporan, saran, berberita, pidato, wawancara, diskusi, seminar, dan pembacaan karya sastra berbentuk puisi, cerita rakyat, drama, cerpen, dan novel
b.Berbicara
Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan berkenalan, diskusi, bercerita, presentasi hasil penelitian, serta mengomentari pembacaan puisi dan pementasan drama
c.Membaca
Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana tulis teks nonsastra berbentuk grafik, tabel, artikel, tajuk rencana, teks pidato, serta teks sastra berbentuk puisi, hikayat, novel, biografi, puisi kontemporer, karya sastra berbagai angkatan dan sastra Melayu klasik
d.Menulis
Menggunakan berbagai jenis wacana tulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk teks narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, teks pidato, proposal, surat dinas, surat dagang, rangkuman, ringkasan, notulen, laporan, resensi, karya ilmiah, dan berbagai karya sastra berbentuk puisi, cerpen, drama, kritik, dan esei
•Program Bahasa
a.Mendengarkan
Memahami wacana lisan dalam kegiatan pidato, ceramah/khotbah, wawancara, diskusi, dialog, penyampaian berita, presentasi laporan
b.Berbicara
Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, informasi, dan pengalaman dalam kegiatan presentasi hasil penelitian, laporan pembacaan buku, dan presentasi program, bercerita, wawancara, diskusi, seminar, debat, dan pidato tanpa teks
c.Membaca
Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana tulis berbentuk esei, artikel, dan biografi
d.Menulis
Mengungkapkan pikiran dan informasi dalam wacana tulis berbentuk teks deskripsi, narasi, eksposisi, persuasi dan argumentasi, ringkasan/rangkuman, laporan, karya ilmiah, makalah, serta surat lamaran
e.Kebahasaan
Memahami dan menggunakan berbagai komponen kebahasaan, baik fonologi, morfologi, maupun sintaksis dalam wacana lisan dan tulis
D. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar: Bahasa Indonesia
Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.
Standar kompetensi yang merupakan kualifikasi menimial yang harus dicapai oleh peserta didik ditujukan untuk mencapai 6 (enam) tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, baik SD,SMP, dan SMA (sederajat), yakni agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
(1)Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis
(2)Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara
(3)Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan
(4)Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial
(5)Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa
(6)Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Standar kompetensi pembelajaran Bahasa Indonesia diklasifikasi atas ruang lingkup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra, yakni mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Standar kompetensi pada komponen kemampuan berbahasa dan bersastra tersebut dijabarkan dalam kompetensi dasar yang disajikan pada setiap tingkat dan/atau semester (suatu) satuan pendidikan.
II.MENGIDENTIFIKASI DAN MENGEMBANGKAN INDIKATOR KOMPETENSI DASAR
Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan, Standar Kompetensi Lulusan Kelompok Mata Pelajaan, Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran, Standar Kompetensi, dan Kompetensi Dasar telah tersedia dalam kurikulum. Tugas penulis buku teks adalah memahami konsepnya dan memahami hubungan serta kedudukan antar strandar kompetensi tersebut.
Tugas penulis buku teks berikutnya adalah mengidentifikasi dan mengembangkan indikator-indikator kompetensi dasar. Indikator-indikator tersebut tidak terdapat dalam kurikulum. Indikator kompetensi dasar tersebut dikembangkan berdasarkan bangun keilmuan
(1)bahasa dan sastra Indonesia;
(2)kemahiran berbahasa dan bersastra Indoneisa; dan
(3)belajar dan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Berikut sebuah contoh mengidentifikasi dan mengembangkan indikator kompetensi dasar.
Kelas VII, Semester 1
STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR
Menulis
4. Mengungkapkan pikiran dan pengalaman dalam buku harian dan surat pribadi
4.1 Menulis buku harian atau pengalaman pribadi dengan memperhatikan cara pengungkapan dan bahasa yang baik dan benar
4.2 Menulis surat pribadi dengan memperhatikan komposisi, isi, dan bahasa
4.3 Menulis teks pengumuman dengan bahasa yang efektif, baik dan benar
Pada kelas VII, Semester 1, terdapat Standar Komptensi (Menulis) Mengungkapkan pikiran dan pengalaman dalam buku harian dan surat pribadi. Indikator Standar kompetensi tersebut dapat diidentifikasi
• mengungkapkan pikiran dalam tulisan
• mengungkapkan pengalaman dalam tulisan.
• menulis buku harian
• menulis surat pribadi
Keempat indikator standar kompetensi tersebut, dalam kurikulum, dirumuskan, digabung, dan dibatasi dalam 3 (tiga) kompetensi dasar, yakni
4.1 Menulis buku harian atau pengalaman pribadi dengan memperhatikan cara pengungkapan dan bahasa yang baik dan benar
4.2 Menulis surat pribadi dengan memperhatikan komposisi, isi, dan bahasa
4.3 Menulis teks pengumuman dengan bahasa yang efektif, baik dan benar
Indikator keempat kompetensi dasar tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut.
• Menulis buku harian/pengalaman pribadi
Mengungkapkan pikiran (saat dan sesudah mengalami suatu peristiwa)
Mengungkapkan pengalaman pribadi
Menggunakan bahasa yang efektif, baik, dan benar (sesuai dengan karakteristik buku harian/pengalaman pribadi)
• Menulis surat pribadi
Komposisi surat pribadi
Isi surat pribadi
Bahasa surat pribadi
• Menulis teks pengumuman (diutamakan berdasarkan pengalaman pribadi)
Komposisi teks pengumuman
Isi teks pengumuman
Bahasa teks pengumuman yang efektif, baik, dan benar
Berdasarkan indikator tersebut, penulis buku teks keterampiran berbahasa harus mencari rujukan teoretis dan konseptual yang benar, setidak-tidaknya, tentang (cara-cara menyusun):
(1) Buku Harian atau tulisan (artikel, misalnya) pengalaman pribadi
• Karakteristik buku harian atau artikel pengalaman pribadi
Wujud
Unsur
Sifat
Tujuan penulisan
• Cara pengungkapan pikiran/pengalaman dalam buku harian/artikel pengalaman pribadi
Ekspresi: lucu, sedih, gembira
Isi: ringan dan keseharian
• Bahasa yang efektif, baik, dan benar
Pilihan kata & ungkapan
Struktur kalimat & wacana
(2)Surat Pribadi
• arakteristik surat pribadi
Wujud
Unsur
Tujuan penulisan
• Komposisi surat pribadi
Alamat
Pembuka
Isi
Penutup
Pengirim
• Bahasa surat pribadi
Pilihan kata & ungkapan
Struktur kata, kalimat & wacana
(3)Teks Pengumuman
• Jenis pengumuman (yang dipilih)
• Komposisi
Tata letak
Huruf /fon
Warna
• Isi
Sasaran yang dituju
Pembuka
Pokok
Penutup
Memberi pengumuman
• Bahasa
Pilihan kata
Struktur kalimat & wacana
Pilihan ungkapan deklarasi dan persuasi
III. PENGEMBANGAN INDIKATOR KOMPETENSI DASAR KE DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
Indikator kompetensi dasar dan pokok-pokok bahan konseptual dan teoretis tersebut diwujudkan dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dapat diklasifikasi atas kegiatan pembuka, kegiatan pokok, dan kegiatan penutup. Kegiatan pembuka dapat berisi kegatan apersepsi atau kegiatan prasyarat untuk masuk ke kegiatan pokok. Kegiatan pokok merupakan perwujudan indikator kompetensi dasar yang berisi kegiatan pembelajaran. Kegiatan penutup dapat berupa kegiatan pengayaan atau kegiatan penilaian.
Berikut contoh pengembangan menulis buku harian.
Kegiatan Awal
A. Mengembangkan Kalimat Topik secara Terbimbing
B. Mengembangkan Kalimat Topik secara Kreatif
(Catatan: kegiatan awal yangdipilih adalah kegiatan prasyarat untuk menulis, yakni menulis kalimat topik dan mengembangkan kalimat topik secara kreatif dengan menuliskan kalimat-kalimat penjelasnya)
Kegiatan Pokok
C. Mengenali Unsur-Unsur Suatu Peristiwa
D. Mencermati Model Penulisan di Buku Harian
Model 1
Senin, 14 Juli 2007, hari pertama di sekolah
07.00—08.00. Teman baru banyak yang tak kukenal. Hanya Ina teman SD-ku yang satu sekolah, nggak satu kelas lagi. Upacara beda regu. Arahan guru dan OSIS.
08.30—10.00. Di kelas, diatur kakak OSIS. Berlagak. Sok ngatur.
Selasa, 15 Juli 2007, pukul 12.30 di kantin sekolah.
Perut keroncongan. Antre bejibun. Habis orientasi dan baris, sama-sama lapar. Nanti aja beli bakso di depan kos
Rabu, 16 Juli 2007, di rumah kos
Belajar masak (biar irit). Konyol, nasi hitam, gosong
Sabtu, 19 Juli, tepi danau, 17.30
Kemah di danau dekat bukit kecil. Langit senja kemerahan. Andai bukit ini ditumbuhi bunga, kayak di manca, wuah indahnya. Tapi, apa pun kemah ini mengesankan, rasa nano-nano: dingin, jengkel, kadang takut, dan .... bergembiara ria
Sabtu, akhir bulan
Dua minggu indekos. Uang menipis, malam minggu kelabu. Mau beli mie bakso nggak kesampaian. Wajah Mama tampak dalam bayangan. Ok! Mam, masakanmu terueeenaak di dunia, ternyata
Model 2
Singkawang, 22 November 2007, pk. 20.00
Malam ini aku benar-benar lelah, baik badan maupun pikiran. Badanku lelah karena seharian bekerja keras membantu korban tanak longsor di daerah ini, sedangkan pikiranku letih mengingat betapa pilunya hatiku melihat keadaan para korban.
Hari ini aku dan teman-teman harus menolong dua orang korban lagi yang baru ditemukan. Yang seorang bernama Dini, seorang gadis kecil yang selamat dari reruntuhan rumahnya, sedangkan yang seorang lagi seorang bapak yang patah kakinya karena tertimpa dahan ketika berlari menyelamatkan diri. Keadaan Dinilah yang benar-benar membuat hatiku trenyuh. Ia adalah gadis kecil yang tak berdaya, sementara kedua orang tuanya meninggal tertimbun tanah longsor. Sementara ini, ia kutitipkan pada Ibu Fatimah. Melihat kondisi Ibu Fatimah yang juga dalam keadaan sengsara, terpikir olehku untuk membawa Dini ke rumahku. Tetapi apakah mungkin? Nantilah kupikirkan lagi
Hari ini Andi banyak membantuku. Kulihat ia sangat kuat dan tak mengenal lelah. Menurut informasi dari Posko, masih ada sekitar enam orang yang belum ditemukan. Besok teman-teman masih akan membantu pencarian korban. Menurut pendapatku, lereng sebelah selatanlah yang harus diperhatikan sebab di sana rumah penduduknya lebih rapat. Akan tetapi, untuk soal ini Kak Amri tetap ngotot untuk menyusuri lereng utara. Ya, biarlah!
E. Menulis Catatan di Buku Harian
(Catatan: kegiatan pokok yang dipilih adalah kegiatan deduktif-induktif; teori dan praktik; teori-contoh-praktik menulis)
Kegiatan Penutup
(Catatan: Kegiatan penutup yang dipilih adalah kegiatan pengayaan. Kegiatan ini dilakukan secara terintegasi dengan kemampuan bersastra, yakni membaca novel dan cerpen; dan mengenali piranti kohesi melalui membaca cerpen)
F. Mengenali Unsur-Unsur Suatu Peristiwa dalam Novel Laskar Pelangi
(Dikutipkan Novel Laskar Pelangi hlm 256—268)
G. Mengenali Kepaduan Paragraf dalam Cerita Pendek Dermaga karya Lan Fang
Dermaga
Aku sedang berada di dermaga. Aku sangat suka dermaga. Dari pinggir dermaga, aku bisa melihat laut lepas dan langit luas. Menurutku, dermaga adalah sebuah tempat yang nyaman. Dermaga juga sebuah sandaran. Setelah jauh melaut, bukankah harus kembali? Dan dermaga adalah tempat melabuhkan semua penat.
Ini dermaga di ujung laut Gresik. Hanya sebuah dermaga sederhana yang ditata dari kayu. Laut sedang surut sehingga tepinya tampak seperti lumpur. Ada beberapa ketam kecil berlarian di atasnya. Perahu-perahu kayu sedang tertambat. Ada nelayan yang sedang menjahit jaring. Juga ada yang sekadar cangkruk menunggu waktu melaut.
Dermaga ini jauh berbeda dengan Dermaga Docklands di Melbourne yang pernah kukunjungi. Itu dermaga tempat merapat kapal-kapal motor. Laut dan langitnya tampak sangat biru. Di tepinya ada sebuah bar. Di sana kami pertama kali bertemu sekaligus berpisah tanpa kata-kata perpisahan.
Sebetulnya sebuah dermaga tidak terlalu perlu untuk diingat-ingat. Tepatnya, aku tidak perlu mengingat-ingat dia lagi. Bukankah kami sudah berpisah? Dan tidak ada yang perlu diingat dari perpisahan.
Tetapi dermaga selalu membuatku teringat kepadanya. Ia memiliki sepasang mata yang sangat kukagumi. Juga tak mungkin kulupakan. Sepasang mata indah yang teduh. Bening seperti pantulan cermin. Bagai langit yang becermin pada laut. Atau laut yang mengaca kepada langit. Entahlah. Itu tidak terlalu perlu bagiku. Karena aku melihat pantulan diriku di matanya.
Tetapi aku bukan sekadar menyukai matanya. Aku juga menyukai rambutnya yang berwarna seperti helai-helai jagung. Terlebih lagi bibirnya yang terlihat segar. Kupikir, itu bibir yang enak untuk dicium.
"Aku tidak merokok," jawabnya ketika hampir setengah hari kami bersama. Ia sama sekali tidak mengeluarkan sebatang rokok pun.
Pantas saja! Aku suprise sekali.
"Tapi aku suka nge-bir," sambungnya sambil tertawa. Tampak menarik sekali.
Sejak hari itu ia selalu mentraktirku minum sambil duduk-duduk di pelataran Dermaga Docklands. Ia pemilik Fish Bar. Sebuah bar yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil di tepian Dermaga Docklands. Ia meletakkan banyak kursi dan meja bulat di pelatarannya. Sehingga dari pelataran bisa mencium udara laut. Udara yang membuat dadaku terasa lapang ketika mengirupnya dalam-dalam.
Aku sudah seminggu di Melbourne. Kantorku sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan sedang membuat iklan untuk promosi sebuah biro perjalanan. Aku diberi waktu sebulan untuk memotret Australia. Dan kupilih Melbourne sebagai tempat tinggalku untuk sementara. Karena bagiku Melbourne tidak sesibuk Sydney.
Aku kerasan di sini. Aku sangat menikmati trotoar Melbourne yang lebar, rapi, dan bersih. Tidak banyak kendaraan lalu lalang dengan berisik, berdebu, dan semrawut. Mataharinya juga tidak seterik Surabaya. Sehingga aku lebih sering berjalan kaki bila hendak menjemput senja di Dermaga Docklands.
Awal perkenalanku dengannya sangat klise. Seperti adegan roman remaja saja. Sebagai pemilik Fish Bar sudah tentu ia harus ramah kepada pengunjung barnya. Memberikan senyum, menyapa, "Hallo, how are you?" dan "thank you" untuk segelas minuman yang kubayar. Tidak ada yang istimewa.
...................
Cerpen Lan Fang Dimuat di Jawa Pos 01/20/2008
Selasa, 22 September 2009
Pengembangan Model Bacaan Anak Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal
Oleh:
Drs. Masnur Muslich, M.Si
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Prawacana
Pemunculan topik ini dipicu oleh kenyataan bahwa bacaan anak yang saat ini beredar didominasi oleh bacaan terjemahaan baik berupa novel maupun komik yang bersumber dari budaya asing. Buku-buku komik Crayon Shinchan, Yu Gi Oh!, Detektif Conan Special, New Kung Fu Boy, Samurai Deeper Kyo, Naruto, Baby Love, Gals, atau Cerita Spesial Doraemon selalu menjadi pilihan untuk dibeli anak. Selain buku komik Jepang tersebut, seri terjemahan dari Walt Disney juga menguasai pasaran. Merebaklah tuduhan bahwa bacaan-bacaan tersebut telah memelintir anak-anak bangsa hingga hanya memiliki segelintir nilai-nilai universal yang canggung dan kehilangan akar budayanya patut direnungkan. Di mana buku bacaan anak karya pengarang dalam negeri yang bersumber dari akar budaya sendiri yang menarik anak? Pada sisi lain, informasi dan acara yang ditayangkan media televisi lebih mengarah ke ”etika informasi bebas’ sehingga masyarakat (khususnya anak-anak) selalu disuguhi adegan kekerasan, perampokan, tabrak lari, pornografi, dan sebagainya yang pada dasarnya kurang mencerminkan, bahkan berseberangan dengan, nilai-nilai budaya bangsa dan kearifan lokal yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia.
Untuk menganntisipasinya, anak perlu diberikan sarana bacaan yang sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini dianutnya, yaitu nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di lingkungannya. Ke depan, apabila nilai-nilai lokal tersebut tertanam pada diri anak, akan tercipta apresiasi yang tinggi terhadap kearifan lokal, yang sekaligus dapat membentengi pengaruh budaya global yang berseberangan dengan budaya lokal. Upaya ini didasari oleh asumsi bahwa (1) buku mencerminkan dan menyeberangkan ide, impresi, sikap, dan citra tertentu, (2) bacaan anak (baca:sastra anak) mengomunikasikan informasi, sikap, nilai yang disetujui orang-orang dewasa lewat penulisannya, (3) citra dan nilai dalam bacaan anak membentuk konsep mengenai perilaku budaya tertentu.
Untuk memenuhi tujuan ini, penulis tengah mengadakan penelitian tentang pengembangan model bacaan anak berbasis kearifan lokal. Penelitian ini diharapkan memperoleh seperangkat panduan penyusunan bacaan berbasis kearifan lokal yang cocok bagi anak dan seperangkat bacaan anak yang mewakili nilai-nilai kearifan lokal. Dengan menggunakan desain penelitian kualitatif dan desain penelitian pengembangan, hasil penelitian ini diharapkan memiliki implikasi praktis dan teoretis. Hasil yang berupa panduan penyusunan bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai panduan penyusunan buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal bagi penulis buku bacaan anak. Prototipe model bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan acuan bagi siapa saja (khususnya penulis buku bacaan anak) ketika bermaksud menyusun buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal. Buku bacaan yang dihasilkan penelitian ini pun dapat dipakai sebagai alternatif bahan pembelajaran terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat oleh guru mata pelajaran PKn, IPS, atau Agama.
Buku Bacaan Anak sebagai Kebutuhan
Pertumbuhan dan perkembangan anak dikatakan sempurna apabila sehat fisik dan mental. Untuk memenuhi sehat fisik diperlukan makanan yang bergizi pada menu makanan sehari-hari. Sementara itu, untuk memenuhi sehat mental pun diperlukan “makanan yang bergizi” pula. Tetapi, fenomena yang saat ini terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, mental anak sering disuguhi “makanan yang kurang bergizi’ bahkan sering disuguhi “racun”. Perilaku kekerasan, pencurian, kasus korupsi, pornografi yang jelas-jelas tidak bernilai pendidikan dan kemanusiaan selalu diberitakan media masa dan menjadi santapan mental anak setiap saat. Buku-buku bacaan yang menarik bagi anak pun kurang bahkan tidak mencerminkan budaya mereka. Lihat saja, ada berapa ribu jilid buku bacaan anak terjemahan dari budaya asing yang dikerubuti anak di setiap toko buku dan laris manis. Bahkan, banyak anak kita yang sudah kecanduan buku-buku bacaan berseri hasil terjemahan dari penulis asing. Padahal, idealnya, mental dan pikiran anak dalam keseharian mesti disuguhi “makanan bergizi”. Dalam konteks ini adalah buku bacaan yang bernilai pendidikan dan kemanusiaan yang diangkat dari budaya sendiri yang penuh nilai-nilai kearifan.
Pada sisi lain, kebiasaan membaca, sebagai salah satu kegiatan positif, perlu ditumbuhkembangkan sejak usia dini khususnya dalam dunia pendidikan. Meningkatkan budaya baca anak sebagai strategi pendidikan merupakan tugas kita semua: pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat. Strategi ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena kondisi masyarakat kita belum menjadikan membaca sebagai budaya. Padahal, budaya baca merupakan salah satu indikator kemajuan bangsa.
Hambatan untuk menumbuhkembangkan minat baca pada anak begitu besar. Di rumah, acara-acara televisi dan permainan video game telah membuat anak semakin menjauhi buku-buku yang mestinya dibaca. Lingkungan tempat tinggal anak pun belum mendukung agar anak gemar membaca. Kebiasaan atau budaya-baca di lingkungan anak belum menjadi bagian dari hidupnya.
Di sekolah, upaya atau program gemar membaca masih sebatas slogan-slogan di perpustakaan. Guru pun boleh dikatakan belum menjadi panutan untuk menumbuhkan minat-baca pada anak. Guru masih sebatas menyuruh anak-anak agar gemar membaca sedangkan guru sendiri belum menjadikan dirinya sebagai contoh (baca: model) sosok yang gemar membaca. Guru belum banyak berbuat untuk meningkatkan aktivitas membaca pada dirinya, dengan berbagai alasan pembenar yang dicari-cari. Padahal, karier seorang guru mesti diawali dengan aktivitas membaca sebelum melangkah ke aktivitas lain.
Dalam rangka meningkatkan minat baca anak, penyediaan buku bacaan sastra anak dipandang sebagai cara yang paling tepat. Mengapa demikian? Sastra dipercaya mempunyai pengaruh yang signifikan dalam perkembangan anak. Ia memberi kenikmatan, mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman baru, memberi pengertian atas kebiasaan manusia, dan memperkenalkan keuniversalan pengalaman (Huck, 1993). Bahkan, pendidikan melalui sastra memainkan peran penting dalam membentuk citra budaya yantertentu (Toha-Sarumpaet, Tanpa Tahun). Falcon (1986) menekankan bahwa buku adalah elemen penting dari ‘the industry of culture’ sekaligus elemen normatif dalam pengenalan budaya. Menyadari peran yang dimainkan sastra dalam membentuk dan memperkenalkan budaya, dan mengetahui bahwa informasi dan citra yang “stereotypic” dan karikatural serta tidak akurat mengenai kelompok-kelompok budaya sangatlah berbahaya bagi anak-anak yang sedang bertumbuh (Lloyd, 1981), perlu disadari oleh semua pihak dengan cara menyediakan buku bacaan anak yang mendukung citra dan nilai budaya yang positif dalam segala aspek. Dalam kasus ini, penyediaan buku bacaan anak berbasis kearifan lokallah sebagai salah satu pilihannya.
Kondisi Sastra Anak Indonesia
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, wujud pertama sastra anak dapat dilihat dari bahannya, yaitu bahasa. Dalam pemakaian bahasa, sastra anak tidak mengandalkan satu bentuk keindahan sebagaimana laiknya karya sastra. Yang paling penting untuk ditonjolkan dalam sastra anak adalah fungsi yang hadir bersamanya, yaitu aspek pragmatis. Namun, karena berpatok kaku pada tataran ini. banyak karya sastra anak Indonesia yang terjebak dalam tema yang itu-itu saja, kurang bahkan tidak berkembang. Hal yang sangat menampak adalah penonjolan unsur didaktis yang kuat sehingga menimbulkan kesan menggurui dan melemahkan cerita.
Di Indonesia, pemerhati sastra anak masih dapat dihitung dengan jari. Sastra anak seolah terpinggirkan, jarang peneliti sastra yang memperhatikannya. Hanya segelintir orang saja yang getol berbicara tentang sastra anak, katakanlah Murti Bunanta, Sugihastuti, Riris K. Toha-Sarumpaet, dan Christantiowati. Mereka inilah yang menelorkan literatur tentang sastra anak, walaupun dalam periode awal, tulisan tersebut adalah hasil olahan dari skripsi. Literatur tersebut antara lain: (1) Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke dalam Hakikat Sifat dan Corak Bacaan Anak-Anak Serta Minat Anak Pada Bacaannya (Jakarta: UI, 1975) karya Riris K. Toha Sarumpaet, (2) Bacaan Anak Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (Balai Pustaka, 1996) karya Christantiowati, (3) Serba-Serbi Cerita Anak (Pustaka Pelajar, 1996) karya Sugihastuti, (4) Petunjuk Praktis Mengarang Cerita Anak-Anak (Balai Pustaka, 1991) oleh Wimanjaya K. Liotohe. Sementara literatur yang paling belakang muncul (5) Cerita Anak Kontemporer (Nuansa, 1999) oleh Trimansyah, dan (6) Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak Indonesia (Balai Pustaka, 1998) oleh Murti Bunanta.
Pembaca pemula (baca: anak usia dini) di Indonesia pada umumnya mengenal bacaan melalui majalah anak-anak seperti Bobo, Bocil, Mentari, buku-buku cerita bergambar (picture book) terjemahan Gramedia dan Elex Media, juga buku-buku bernuansa Islami dari Mizan. Buku cerita bergambar ini banyak mengajarkan anak berbagai ragam tema dan persoalan. Sejak usia dini anak dikenalkan nilai-nilai pluralisme, penyesuaian diri, lingkungan hidup, etika, kontrol diri, kerjasama, berbagi, persahabatan, toleransi, cinta kasih, rasa takut, dan sebagainya. Setelah itu, disusul oleh bacaan komik-komik Jepang yang begitu banyak ragam judul dan temanya.
Pada periode berikutnya, ketika di sekolah, mereka baru mengenal buku-buku cerita rakyat Indonesia yang menjadi salah satu basis dari genre sastra anak. Buku cerita rakyat di sekolah biasanya dikoleksi melalui program pemerintah. Itupun tidak banyak. Dari koleksi buku sekolah yang ada, hanya puluhan saja yang merupakan cerita rakyat. Judulnya pun berkisar cerita rakyat yang sudah populer, misalnya Timun Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Cindelaras, Sangkuriang, Lutung Kasarung, atau Joko Kendil.
Sastra Anak Indonesia bisa dikatakan tersubordinasi oleh bacaan terjemahan. Anak-anak kita menjadi tamu di negeri sendiri. Kenyataannya memang demikian. Penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Lihat saja, Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), 8 judul Seri Petualanganmu yang Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12 judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, 6 judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, 3 judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.
Seri-seri detektif juga mewarnai karya terjemahan, misalnya Seri Klub Detektif karya Wolfgang Ecke, Seri Enstein Andersen oleh Seymore Simon, dan Seri Klub Ilmuwan Edan karya Bertrand R. Brinley. Namun ada juga cerita-cerita lucu, seperti 15 judul Seri The Baby Sitter Club karya Ann. M. Martin. Satu lagi, Ratu Tukang Cerita, Enid Blyton, yang telah mengarang lebih dari 700 judul buku yang diterjemahkan dalam 129 bahasa. Karya terjemahan Enid Blyton bertebaran di Indonesia, tidak kurang dari 28 judul Seri Mini Noddy (al: Belajar Jam Bersama Noddy, Belajar Berhitung Bersama Noddy, Belajar Berbelanja Bersama Noddy), 21 judul Seri Lima Sekawan yang juga telah difilmkan, 6 judul Seri Komplotan, 6 judul Seri Kembar, 3 judul Seri Sirkus, 6 judul Seri Mallory Towers, dan 3 judul Seri Gadis Badung.
Begitulah, karya-karya terjemahan tersebut telah menenggelamkan karya-karya sastra anak lokal yang tidak dapat muncul di permukaan. Kebanyakan hanya menghuni rak-rak perpustakaan sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi pemerintah melalui program Inpres dan DAK. Dibanding dengan karya terjemahan yang terbit, kualitas fisik karya lokal tersebut memang jauh di bawah. Karya-karya terjemahan muncul dengan tampilan gambar, warna, dan kertas yang menawan.
Kemandegan sastra anak lokal juga diperparah oleh tidak adanya program-program sastra di sekolah dan di perpustakaan yang membicarakan buku lokal, kecuali untuk buku-buku sastra remaja dan dewasa karya pengarang muda yang cepat sekali mendapat apresiasi dan terjual puluhan ribu kopi, katakanlah Dewi Lestari, Ayu Utami, dan Habiburrahman El Shirazi. Bahkan, siapapun orangnya, posisi pengarang bacaan anak tidaklah menarik untuk dikupas. Hal ini menampak ketika para selebritis menulis buku untuk anak, seperti Soraya Haque, Marisa Haque, Vinny Alvionita, Gito Rollies, Dwiki Dharmawan, dan Monica Oemardi. Bandingkan dengan buku anak karangan Madonna yang mutunya biasa saja tetapi gemanya sudah ke mana-mana. Jika demikian, semakin lemahlah orang-orang yang benar-benar intens di jalur ini, seperti pengarang muda Donny Kurniawan dan Eko Wardhana yang karya-karyanya cukup menjanjikan.
Memang ada pengarang sastra anak yang cukup beruntung di periode terkini, yaitu Murti Bunanta yang karya dwi bahasanya Si Bungsu Katak (Balai Pustaka, 1998) mendapat penghargaan internasional, The Janusz Korczak International Literary Prize Honorary Award dari Polandia. Juga karya Legenda Pohon Beringin (KPBA, 2001) yang mendapat hadiah utama Octogones 2002 for Reflets d’Imaginaire d’Ailleurs. Bukan cuma itu. Sebuah buku ceritanya, Kancil dan Kura-kura (KPBA, 2001) yang mengadaptasi cerita dari Kalimantan Barat, telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang dan dipanggungkan di sana oleh sebuah grup teater anak profesional selama satu tahun. Murti Bunanta juga diminta oleh penerbit Amerika (Westport, Library Unlimited Inc.) untuk menuliskan buku cerita rakyat Indonesia yang kemudian terbit tahun 2003 dengan judul Indonesian Folktales. Kini, dia menggagas dan menerbitkan buku-buku kecil untuk anak dan pembaca yang mulai belajar bahasa Indonesia. Buku-buku tersebut kemudian diketahui laku dibeli oleh 52 perpustakaan di Singapura dan rencananya juga akan dapat dibeli di Australia.
Tantangan pengarang sastra anak Indonesia dewasa ini menjadi demikian berat karena tidak saja melawan sesama pengarang buku anak di dunia, tetapi juga melawan daya tarik media elektronik dan kemajuan teknologi yang pesat. Sebuah Perpustakaan Digital Anak-Anak Internasional (International Children’s Digital Library) telah hadir di Library of Congress (Amerika) yang telah mencatat 275 buku koleksi yang dipilih dari buku-buku terbaik di dunia yang dapat diakses cuma-cuma melalui jaringan internet. Diperkirakan tahun ini akan mencapai 10.000 buku dalam lebih dari 100 bahasa. Karya-karya yang dikoleksi meliputi buku action, petualangan, dongeng, cerita pendek, dan drama. Namun, yang paling merisaukan adalah adanya usaha mengambil alih cerita rakyat Indonesia oleh pengarang Barat. Contoh nyata terjadi pada cerita-cerita asal Bali yang kemudian ditulis oleh Ann Martin Bowler dengan ilustrator I Gusti Made Sukanada yang berjudul Gecko’s Complain, juga Balinese Children Favorite Stories yang ditulis oleh Victor Mason dengan ilustrator Trina Bohan-Tyrie.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, para pengarang cerita anak kita harus cepat bertindak menggali potensi cerita yang banyak bertebaran di bumi Indonesia. Patut diacungi jempol bagi Kelompok Pencinta Bacaan Anak yang telah menerbitkan berbagai buku cerita rakyat, antara lain Suwidak Loro, Si Kancil dan Kura-Kura, Kancil dan Raja Hutan, Si Kecil, Si Bungsu Katak, dan Senggutru dengan sampul hard cover dan dwibahasa. Cerita-ceritanya pun dapat disederhanakan dan didongengkan di kelas untuk anak usia dini.
Kearifan Lokal sebagai Basis Buku Bacaan Anak
Istilah “kearifan lokal” atau local wisdom mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosakata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut. Hal ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam membedah dan "mengobati" setiap penyakit yang timbul sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum.
Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor keterlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antarkomunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitanya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beraneka ragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan objek permasalahan yang sama.
Sebagai misal, orang Jawa yang tinggal di daerah pegunungan atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan ketika sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Jawa pegunungan atau pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri. Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan. Ia akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.
Berdasarkan gambaran tersebut dapat didefinisikan bahwa kearifan lokal adalah pandangan hidup dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai “kebijakan setempat” (local wisdom), “pengetahuan setempat” (local knowledge), atau “kecerdasan setempat” (local genious). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka itu, dengan memperhatikan ekosistem (flora,fauna dan mineral) serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mereka sendiri.
Dalam upaya pemertahanan nilai-nilai kearifan lokal ini, masyarakat setempat mengemasnya dalam bentuk “pendidikan tidak langsung” berupa cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat. Lewat berbagai kemasan ini diharapkan akan terjadi “warisan” kearifan lokal pada generasi penerusnya. Warisan yang diyakini mengandung nilai-nilai kearifan inilah yang perlu dimanfaatkan sebagai basis bacaan anak. Dengan cara demikian, diharapkan akan tertanam norma-norma budaya sendiri pada diri anak, yang secara potensial (langsung atau tidak langsung) akan berpengaruh dalam perilaku hidupnya.
Penulisan Cerita Anak Berbasis Kearifal Lokal“Buku cerita bukan pengganti kehidupan tetapi dapat memperkaya kehidupan.” Demikian ungkapan May Hill Arbuthnot dalam bukunya Children of Books. Peneliti bacaan anak ini mengatakan bahwa ketika kehidupan terkonsentrasi pada kenyataan sehari-hari, buku justru mampu mempertinggi kepekaan. Buku bacaan dapat membantu membebaskan diri dari kesulitan dengan memberi wawasan baru, memberi kesempatan beristirahat dan kesegaran yang kita butuhkan, menjadi sumber informasi yang menyenangkan, dan disukai bagi orang yang tahu manfaatnya.
“Buku bacaan untuk anak secara alamiah adalah buku yang disukainya,” kata Arbuthnot. “Secara psikologis anak selalu mencari-cari untuk keseimbangan yang sulit antara kebahagiaan pribadi dan persetujuan sosial. Dan, ini tidak mudah baginya.” Namun, bacaan dapat membantu anak secara langsung maupun tidak langsung. Yang penting diketahui oleh para penulis dan ilustrator cerita untuk anak adalah kebutuhan-kebutuhan yang ingin dicapai oleh anak. Antara lain, rasa aman, penyaluran emosi yang menyebabkan anak suka dengan cerita-cerita menyentuh perasaan, ingin lebih pandai karena anak suka berpikir, keberhasilan atau prestasi untuk pertumbuhan moral, permainan dan perubahan sebagai pemenuhan daya imajinasi dan fantasi, keindahan atau seni, bimbingan dan kasih sayang.
Rampan (2003:89-94) mengatakan bahwa buku cerita anak adalah buku cerita yang sederhana tetapi kompleks. Kesederhanaan itu ditandai oleh syarat wacananya yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak ruwet sehingga komunikatif. Di samping itu, pengalihan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak dan keberadaan jiwa dan sifat anak-anak menjadikan syarat cerita anak-anak yang digemari. Dengan kata lain, cerita anak-anak harus berbicara tentang kehidupan anak-anak dengan segala aspek yang berada dan memengaruhi mereka.
Pada sisi lain, kekompleksan cerita anak ditandai oleh strukturnya yang tidak berbeda dari struktur fiksi pada umumnya. Dengan demikian, organisasi cerita anak-anak harus ditopang sejumlah pilar yang menjadi landasan terbinanya sebuah bangunan cerita. Sebuah cerita akar, menjadi menarik jika semua elemen kisah dibina secara seimbang di dalam struktur yang isi-mengisi sehingga tidak ada bagian yang terasa kurang atau terasa berlebihan. (Badingkan dengan Toha_Sarumpaet, 2003: 111-121).
Secara sederhana, sebuah cerita sebenarnya dimulai dari tema. Rancang bangun cerita yang dikehendaki pengarang harus dilandasi amanat, yaitu pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Namun, amanat ini harus dijalin secara menarik sehingga anak-anak tidak merasa membaca wejangan moral atau khotbah agama. Pembaca dihadapkan pada sebuah cerita yang menarik dan menghibur sehingga dari bacaan itu anak-anak dapat membangun pengertian dan menarik kesimpulan tentang pesan apa yang hendak disampaikan pengarang. Umumnya, tema yang dinyatakan secara terbuka dan gamblang tidak akan menarik minat pembaca.
Pilar kedua adalah tokoh. Secara umum, tokoh dapat dibagi dua, yaitu tokoh utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis). Tokoh utama ini biasanya disertai tokoh-tokoh sampingan yang umumnya ikut serta dan menjadi bagian kesatuan cerita. Sebagai tokoh bulat, tokoh utama ini mendapat porsi paling istimewa jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh sampingan. Kondisi fisik maupun karakternya digambarkan secara lengkap. Di samping itu, sering pula dihadirkan tokoh datar, yaitu tokoh yang ditampilkan secara satu sisi (baik atau jahat) sehingga dapat melahirkan tanggapan memuja ataupun membenci dari para pembaca. Penokohan seharusnya memperlihatkan perkembangan karakter tokoh. Peristiwa-peristiwa yang terbina dan dilema yang muncul di dalam alur harus mampu membawa perubahan dan perkembangan pada tokoh hingga lahir identifikasi pembaca pada tokoh yang muncul sebagai hero atau sebagai antagonis yang dibenci.
Pilar ketiga adalah latar. Peristiwa-peristiwa di dalam cerita dapat dibangun dengan menarik jika penempatan latar waktu dan latar tempatnya dilakukan secara tepat. Karena latar berhubungan dengan tokoh dan tokoh berkaitan erat dengan karakter. Bangunan latar yang baik menunjukkan bahwa cerita tertentu tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak menunjang tokoh dan peristiwa-peristiwa khas yang hanya terjadi di suatu latar tertentu saja. Dengan kata lain, latar menunjukkan keunikan tersendiri dalam rangkaian kisah sehingga mampu membangun tokoh-tokoh spesifik dengan sifat-sifat tertentu yang hanya ada pada kawasan tertentu itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa latar memperkuat tokoh dan menghidupkan peristiwa-peristiwa yang dibina di dalam alur, menjadikan cerita spesifik dan unik.
Pilar keempat adalah alur. Alur menuntut kemampuan utama pengarang untuk menarik minat pembaca. Dengan sederhana alur dapat dikatakan sebagai rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Alur dapat dibina secara lurus, di mana cerita dibangun secara kronologis. Peristiwa demi peristiwa berkaitan langsung satu sama lain sampai cerita berakhir. Alur juga dapat dibangun secara episodik, di mana cerita diikat oleh episode-episode tertentu, setiap episodenya ditemukan gawatan, klimaks, dan leraian. Khususnya pada cerita-cerita panjang, alur episodik ini dapat memberi pikatan karena keingintahuan pembaca makin dipertinggi oleh hal-hal misterius yang mungkin terjadi pada bab selanjutnya. Alur juga dapat dibangun dengan sorot balik atau alur maju (foreshadowing). Sorot balik adalah paparan informasi atau peristiwa yang terjadi di masa lampau, dikisahkan kembali dalam situasi masa kini, sementara "foreshadowing" merupakan wujud ancang-ancang untuk menerima peristiwa-peristiwa tertentu yang akan terjadi.
Sebuah cerita tidak mungkin menarik tanpa peristiwa dan konflik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi menimbulkan konflik tertentu, seperti konflik pada diri sendiri (person-against-self); konflik tokoh dengan orang lain (person-against-person); dan konflik antara tokoh dan masyarakat (person-against-society). Dengan alur yang pas karena peristiwa-peristiwa yang sinkronis dengan konflik umumnya meyakinkan pembaca anak-anak dan hal itulah yang membawa mereka senang, takut, sedih, marah, dan sebagainya. Dengan bantuan bahasa yang memikat, anak-anak merasa senang untuk terus membaca.
Pilar kelima adalah gaya. Di samping pilar-pilar lainnya, gaya menentukan keberhasilan sebuah cerita. Secara tradisional dikatakan bahwa keberhasilan sebuah cerita bukan pada apa yang dikatakan, tetapi bagaimana mengatakannya. Kalimat-kalimat yang enak dibaca; ungkapan-ungkapan yang baru dan hidup; suspense yang menyimpan kerahasiaan; pemecahan persoalan yang rumit, namun penuh tantangan, pengalaman-pengalaman baru yang bernuansa kemanusiaan, dan sebagainya merupakan muatan gaya yang membuat pembaca terpesona. Di samping sebagai tanda seorang pengarang, gaya tertentu mampu menyedot perhatian pembaca untuk terus membaca. Bersama elemen lainnya seperti penggunaan sudut pandang yang tepat, pembukaan dan penutup yang memberi kesan tertentu, gaya adalah salah satu kunci yang menentukan berhasil atau gagalnya sebuah cerita.
Pilar keenam adalah ilustrasi. Ilustrasu adalah gambaran visual yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cerita. Oleh karena itu, ilustrasi yang baik akan dapat mendorong anak untuk tertarik membaca cerita dan dapat mempercepat keutuhan pemahaman anak atas isi cerita. Terkait dengan itu, ilustrasi cerita hendaknya disajikan secara ekspresif, imajinatif fantastis, dan dapat memperkaya wawasan anak.
Pascawacana
Poko-pokok pemikiran tersebut kiranya dapat menyadarkan kita bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang ditanamkan nenek moyang kita lewat kemasan cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat dapat kita berdayakan dalam bentuk bacaan anak. Lewat bacaan berbasis kearifan lokal ini diharapkan anak dapat memetik norma-norma yang berpijak pada budaya sendiri, yang langsung atau tidak langsung akan berimbas pada kehidupannya.
Agara pemikiran ini tidak hanya sebatas wacana, menjadi tugas kita semua (pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat) untuk segera melakukan tindakan nyata sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita masing-masing. Dengan cara demikian, dampak arus global yang dapat memorak-porandakan tatanan nilai-nilai kearifan yang selama ini kita yakini kebenarannya akan dapat terbendung.
Pustaka Acuan
Brodart Foundation. 1979. Elementary School Library Collection: A Guide to Books and Other Media. Various Editions. Newark, NJ.: Bro-dart Foundation.
Budd, R. W., R. K. Thorp, dan L. Donohew. 1967. ContentAnalysis of Communications. New York: Macmillan.
Falcon, L. Nieves. 1986. “Children’s Books as a Liberating Force.” Dalam Interracial Books for Children Bulletin, Vol. 7, No. 1, hal. 4-6.
Forsdale, Louis. November 1955. “Helping Students Observe Processes of Communication.” dalam Teacher’s College Record 57.
Good, C. V. dan Douglas E. Scates. 1954. Method of Research: Educational, Psychological, Sociological. New York: Appleton.
Gunawan, Tuti. 2007. Makalah dalam seminar "Tahap Perkembangan Anak dan Mengenal Cara Belajar Anak".
Hadits, Fawzia Aswin. 2003. "Psikologi Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar" dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Huck, Charlotte S., 1993. Children’s Literature in the Elementary School. Fifth Edition. Forth Worth, TX: Harcourt Brace.
Lloyd, Marcus. 1981. The Treatment of Minorities in Secondary School Textbooks. New York: Anti-Defamation League of B’nai B’rith.
Pratt, David. 1972. How to Find and Measure Bias in Textbooks. Englewood Cliffs: Educational Technology Publication.
Rampan, Korrie Layun. 2003. Dasar-Dasar Penulisan Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati Halaman : 89 -- 94
Titik W.S. 2003. "Menulis" dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Toha-Sarumpaet, Riris K. Tanpa Tahun. “Sastra dan Pemahaman Budaya.” Makalah untuk diskusi Program Studi Ilmu Susastra, Depok: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.
____________. 2003. “Struktur Bacaan Anak” dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Wilson, H. W. 1960-1980. Children’s Catalog. Various Editions. New York: H. W. Wilson.
Drs. Masnur Muslich, M.Si
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Prawacana
Pemunculan topik ini dipicu oleh kenyataan bahwa bacaan anak yang saat ini beredar didominasi oleh bacaan terjemahaan baik berupa novel maupun komik yang bersumber dari budaya asing. Buku-buku komik Crayon Shinchan, Yu Gi Oh!, Detektif Conan Special, New Kung Fu Boy, Samurai Deeper Kyo, Naruto, Baby Love, Gals, atau Cerita Spesial Doraemon selalu menjadi pilihan untuk dibeli anak. Selain buku komik Jepang tersebut, seri terjemahan dari Walt Disney juga menguasai pasaran. Merebaklah tuduhan bahwa bacaan-bacaan tersebut telah memelintir anak-anak bangsa hingga hanya memiliki segelintir nilai-nilai universal yang canggung dan kehilangan akar budayanya patut direnungkan. Di mana buku bacaan anak karya pengarang dalam negeri yang bersumber dari akar budaya sendiri yang menarik anak? Pada sisi lain, informasi dan acara yang ditayangkan media televisi lebih mengarah ke ”etika informasi bebas’ sehingga masyarakat (khususnya anak-anak) selalu disuguhi adegan kekerasan, perampokan, tabrak lari, pornografi, dan sebagainya yang pada dasarnya kurang mencerminkan, bahkan berseberangan dengan, nilai-nilai budaya bangsa dan kearifan lokal yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia.
Untuk menganntisipasinya, anak perlu diberikan sarana bacaan yang sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini dianutnya, yaitu nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di lingkungannya. Ke depan, apabila nilai-nilai lokal tersebut tertanam pada diri anak, akan tercipta apresiasi yang tinggi terhadap kearifan lokal, yang sekaligus dapat membentengi pengaruh budaya global yang berseberangan dengan budaya lokal. Upaya ini didasari oleh asumsi bahwa (1) buku mencerminkan dan menyeberangkan ide, impresi, sikap, dan citra tertentu, (2) bacaan anak (baca:sastra anak) mengomunikasikan informasi, sikap, nilai yang disetujui orang-orang dewasa lewat penulisannya, (3) citra dan nilai dalam bacaan anak membentuk konsep mengenai perilaku budaya tertentu.
Untuk memenuhi tujuan ini, penulis tengah mengadakan penelitian tentang pengembangan model bacaan anak berbasis kearifan lokal. Penelitian ini diharapkan memperoleh seperangkat panduan penyusunan bacaan berbasis kearifan lokal yang cocok bagi anak dan seperangkat bacaan anak yang mewakili nilai-nilai kearifan lokal. Dengan menggunakan desain penelitian kualitatif dan desain penelitian pengembangan, hasil penelitian ini diharapkan memiliki implikasi praktis dan teoretis. Hasil yang berupa panduan penyusunan bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai panduan penyusunan buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal bagi penulis buku bacaan anak. Prototipe model bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan acuan bagi siapa saja (khususnya penulis buku bacaan anak) ketika bermaksud menyusun buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal. Buku bacaan yang dihasilkan penelitian ini pun dapat dipakai sebagai alternatif bahan pembelajaran terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat oleh guru mata pelajaran PKn, IPS, atau Agama.
Buku Bacaan Anak sebagai Kebutuhan
Pertumbuhan dan perkembangan anak dikatakan sempurna apabila sehat fisik dan mental. Untuk memenuhi sehat fisik diperlukan makanan yang bergizi pada menu makanan sehari-hari. Sementara itu, untuk memenuhi sehat mental pun diperlukan “makanan yang bergizi” pula. Tetapi, fenomena yang saat ini terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, mental anak sering disuguhi “makanan yang kurang bergizi’ bahkan sering disuguhi “racun”. Perilaku kekerasan, pencurian, kasus korupsi, pornografi yang jelas-jelas tidak bernilai pendidikan dan kemanusiaan selalu diberitakan media masa dan menjadi santapan mental anak setiap saat. Buku-buku bacaan yang menarik bagi anak pun kurang bahkan tidak mencerminkan budaya mereka. Lihat saja, ada berapa ribu jilid buku bacaan anak terjemahan dari budaya asing yang dikerubuti anak di setiap toko buku dan laris manis. Bahkan, banyak anak kita yang sudah kecanduan buku-buku bacaan berseri hasil terjemahan dari penulis asing. Padahal, idealnya, mental dan pikiran anak dalam keseharian mesti disuguhi “makanan bergizi”. Dalam konteks ini adalah buku bacaan yang bernilai pendidikan dan kemanusiaan yang diangkat dari budaya sendiri yang penuh nilai-nilai kearifan.
Pada sisi lain, kebiasaan membaca, sebagai salah satu kegiatan positif, perlu ditumbuhkembangkan sejak usia dini khususnya dalam dunia pendidikan. Meningkatkan budaya baca anak sebagai strategi pendidikan merupakan tugas kita semua: pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat. Strategi ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena kondisi masyarakat kita belum menjadikan membaca sebagai budaya. Padahal, budaya baca merupakan salah satu indikator kemajuan bangsa.
Hambatan untuk menumbuhkembangkan minat baca pada anak begitu besar. Di rumah, acara-acara televisi dan permainan video game telah membuat anak semakin menjauhi buku-buku yang mestinya dibaca. Lingkungan tempat tinggal anak pun belum mendukung agar anak gemar membaca. Kebiasaan atau budaya-baca di lingkungan anak belum menjadi bagian dari hidupnya.
Di sekolah, upaya atau program gemar membaca masih sebatas slogan-slogan di perpustakaan. Guru pun boleh dikatakan belum menjadi panutan untuk menumbuhkan minat-baca pada anak. Guru masih sebatas menyuruh anak-anak agar gemar membaca sedangkan guru sendiri belum menjadikan dirinya sebagai contoh (baca: model) sosok yang gemar membaca. Guru belum banyak berbuat untuk meningkatkan aktivitas membaca pada dirinya, dengan berbagai alasan pembenar yang dicari-cari. Padahal, karier seorang guru mesti diawali dengan aktivitas membaca sebelum melangkah ke aktivitas lain.
Dalam rangka meningkatkan minat baca anak, penyediaan buku bacaan sastra anak dipandang sebagai cara yang paling tepat. Mengapa demikian? Sastra dipercaya mempunyai pengaruh yang signifikan dalam perkembangan anak. Ia memberi kenikmatan, mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman baru, memberi pengertian atas kebiasaan manusia, dan memperkenalkan keuniversalan pengalaman (Huck, 1993). Bahkan, pendidikan melalui sastra memainkan peran penting dalam membentuk citra budaya yantertentu (Toha-Sarumpaet, Tanpa Tahun). Falcon (1986) menekankan bahwa buku adalah elemen penting dari ‘the industry of culture’ sekaligus elemen normatif dalam pengenalan budaya. Menyadari peran yang dimainkan sastra dalam membentuk dan memperkenalkan budaya, dan mengetahui bahwa informasi dan citra yang “stereotypic” dan karikatural serta tidak akurat mengenai kelompok-kelompok budaya sangatlah berbahaya bagi anak-anak yang sedang bertumbuh (Lloyd, 1981), perlu disadari oleh semua pihak dengan cara menyediakan buku bacaan anak yang mendukung citra dan nilai budaya yang positif dalam segala aspek. Dalam kasus ini, penyediaan buku bacaan anak berbasis kearifan lokallah sebagai salah satu pilihannya.
Kondisi Sastra Anak Indonesia
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, wujud pertama sastra anak dapat dilihat dari bahannya, yaitu bahasa. Dalam pemakaian bahasa, sastra anak tidak mengandalkan satu bentuk keindahan sebagaimana laiknya karya sastra. Yang paling penting untuk ditonjolkan dalam sastra anak adalah fungsi yang hadir bersamanya, yaitu aspek pragmatis. Namun, karena berpatok kaku pada tataran ini. banyak karya sastra anak Indonesia yang terjebak dalam tema yang itu-itu saja, kurang bahkan tidak berkembang. Hal yang sangat menampak adalah penonjolan unsur didaktis yang kuat sehingga menimbulkan kesan menggurui dan melemahkan cerita.
Di Indonesia, pemerhati sastra anak masih dapat dihitung dengan jari. Sastra anak seolah terpinggirkan, jarang peneliti sastra yang memperhatikannya. Hanya segelintir orang saja yang getol berbicara tentang sastra anak, katakanlah Murti Bunanta, Sugihastuti, Riris K. Toha-Sarumpaet, dan Christantiowati. Mereka inilah yang menelorkan literatur tentang sastra anak, walaupun dalam periode awal, tulisan tersebut adalah hasil olahan dari skripsi. Literatur tersebut antara lain: (1) Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke dalam Hakikat Sifat dan Corak Bacaan Anak-Anak Serta Minat Anak Pada Bacaannya (Jakarta: UI, 1975) karya Riris K. Toha Sarumpaet, (2) Bacaan Anak Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (Balai Pustaka, 1996) karya Christantiowati, (3) Serba-Serbi Cerita Anak (Pustaka Pelajar, 1996) karya Sugihastuti, (4) Petunjuk Praktis Mengarang Cerita Anak-Anak (Balai Pustaka, 1991) oleh Wimanjaya K. Liotohe. Sementara literatur yang paling belakang muncul (5) Cerita Anak Kontemporer (Nuansa, 1999) oleh Trimansyah, dan (6) Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak Indonesia (Balai Pustaka, 1998) oleh Murti Bunanta.
Pembaca pemula (baca: anak usia dini) di Indonesia pada umumnya mengenal bacaan melalui majalah anak-anak seperti Bobo, Bocil, Mentari, buku-buku cerita bergambar (picture book) terjemahan Gramedia dan Elex Media, juga buku-buku bernuansa Islami dari Mizan. Buku cerita bergambar ini banyak mengajarkan anak berbagai ragam tema dan persoalan. Sejak usia dini anak dikenalkan nilai-nilai pluralisme, penyesuaian diri, lingkungan hidup, etika, kontrol diri, kerjasama, berbagi, persahabatan, toleransi, cinta kasih, rasa takut, dan sebagainya. Setelah itu, disusul oleh bacaan komik-komik Jepang yang begitu banyak ragam judul dan temanya.
Pada periode berikutnya, ketika di sekolah, mereka baru mengenal buku-buku cerita rakyat Indonesia yang menjadi salah satu basis dari genre sastra anak. Buku cerita rakyat di sekolah biasanya dikoleksi melalui program pemerintah. Itupun tidak banyak. Dari koleksi buku sekolah yang ada, hanya puluhan saja yang merupakan cerita rakyat. Judulnya pun berkisar cerita rakyat yang sudah populer, misalnya Timun Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Cindelaras, Sangkuriang, Lutung Kasarung, atau Joko Kendil.
Sastra Anak Indonesia bisa dikatakan tersubordinasi oleh bacaan terjemahan. Anak-anak kita menjadi tamu di negeri sendiri. Kenyataannya memang demikian. Penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Lihat saja, Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), 8 judul Seri Petualanganmu yang Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12 judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, 6 judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, 3 judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.
Seri-seri detektif juga mewarnai karya terjemahan, misalnya Seri Klub Detektif karya Wolfgang Ecke, Seri Enstein Andersen oleh Seymore Simon, dan Seri Klub Ilmuwan Edan karya Bertrand R. Brinley. Namun ada juga cerita-cerita lucu, seperti 15 judul Seri The Baby Sitter Club karya Ann. M. Martin. Satu lagi, Ratu Tukang Cerita, Enid Blyton, yang telah mengarang lebih dari 700 judul buku yang diterjemahkan dalam 129 bahasa. Karya terjemahan Enid Blyton bertebaran di Indonesia, tidak kurang dari 28 judul Seri Mini Noddy (al: Belajar Jam Bersama Noddy, Belajar Berhitung Bersama Noddy, Belajar Berbelanja Bersama Noddy), 21 judul Seri Lima Sekawan yang juga telah difilmkan, 6 judul Seri Komplotan, 6 judul Seri Kembar, 3 judul Seri Sirkus, 6 judul Seri Mallory Towers, dan 3 judul Seri Gadis Badung.
Begitulah, karya-karya terjemahan tersebut telah menenggelamkan karya-karya sastra anak lokal yang tidak dapat muncul di permukaan. Kebanyakan hanya menghuni rak-rak perpustakaan sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi pemerintah melalui program Inpres dan DAK. Dibanding dengan karya terjemahan yang terbit, kualitas fisik karya lokal tersebut memang jauh di bawah. Karya-karya terjemahan muncul dengan tampilan gambar, warna, dan kertas yang menawan.
Kemandegan sastra anak lokal juga diperparah oleh tidak adanya program-program sastra di sekolah dan di perpustakaan yang membicarakan buku lokal, kecuali untuk buku-buku sastra remaja dan dewasa karya pengarang muda yang cepat sekali mendapat apresiasi dan terjual puluhan ribu kopi, katakanlah Dewi Lestari, Ayu Utami, dan Habiburrahman El Shirazi. Bahkan, siapapun orangnya, posisi pengarang bacaan anak tidaklah menarik untuk dikupas. Hal ini menampak ketika para selebritis menulis buku untuk anak, seperti Soraya Haque, Marisa Haque, Vinny Alvionita, Gito Rollies, Dwiki Dharmawan, dan Monica Oemardi. Bandingkan dengan buku anak karangan Madonna yang mutunya biasa saja tetapi gemanya sudah ke mana-mana. Jika demikian, semakin lemahlah orang-orang yang benar-benar intens di jalur ini, seperti pengarang muda Donny Kurniawan dan Eko Wardhana yang karya-karyanya cukup menjanjikan.
Memang ada pengarang sastra anak yang cukup beruntung di periode terkini, yaitu Murti Bunanta yang karya dwi bahasanya Si Bungsu Katak (Balai Pustaka, 1998) mendapat penghargaan internasional, The Janusz Korczak International Literary Prize Honorary Award dari Polandia. Juga karya Legenda Pohon Beringin (KPBA, 2001) yang mendapat hadiah utama Octogones 2002 for Reflets d’Imaginaire d’Ailleurs. Bukan cuma itu. Sebuah buku ceritanya, Kancil dan Kura-kura (KPBA, 2001) yang mengadaptasi cerita dari Kalimantan Barat, telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang dan dipanggungkan di sana oleh sebuah grup teater anak profesional selama satu tahun. Murti Bunanta juga diminta oleh penerbit Amerika (Westport, Library Unlimited Inc.) untuk menuliskan buku cerita rakyat Indonesia yang kemudian terbit tahun 2003 dengan judul Indonesian Folktales. Kini, dia menggagas dan menerbitkan buku-buku kecil untuk anak dan pembaca yang mulai belajar bahasa Indonesia. Buku-buku tersebut kemudian diketahui laku dibeli oleh 52 perpustakaan di Singapura dan rencananya juga akan dapat dibeli di Australia.
Tantangan pengarang sastra anak Indonesia dewasa ini menjadi demikian berat karena tidak saja melawan sesama pengarang buku anak di dunia, tetapi juga melawan daya tarik media elektronik dan kemajuan teknologi yang pesat. Sebuah Perpustakaan Digital Anak-Anak Internasional (International Children’s Digital Library) telah hadir di Library of Congress (Amerika) yang telah mencatat 275 buku koleksi yang dipilih dari buku-buku terbaik di dunia yang dapat diakses cuma-cuma melalui jaringan internet. Diperkirakan tahun ini akan mencapai 10.000 buku dalam lebih dari 100 bahasa. Karya-karya yang dikoleksi meliputi buku action, petualangan, dongeng, cerita pendek, dan drama. Namun, yang paling merisaukan adalah adanya usaha mengambil alih cerita rakyat Indonesia oleh pengarang Barat. Contoh nyata terjadi pada cerita-cerita asal Bali yang kemudian ditulis oleh Ann Martin Bowler dengan ilustrator I Gusti Made Sukanada yang berjudul Gecko’s Complain, juga Balinese Children Favorite Stories yang ditulis oleh Victor Mason dengan ilustrator Trina Bohan-Tyrie.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, para pengarang cerita anak kita harus cepat bertindak menggali potensi cerita yang banyak bertebaran di bumi Indonesia. Patut diacungi jempol bagi Kelompok Pencinta Bacaan Anak yang telah menerbitkan berbagai buku cerita rakyat, antara lain Suwidak Loro, Si Kancil dan Kura-Kura, Kancil dan Raja Hutan, Si Kecil, Si Bungsu Katak, dan Senggutru dengan sampul hard cover dan dwibahasa. Cerita-ceritanya pun dapat disederhanakan dan didongengkan di kelas untuk anak usia dini.
Kearifan Lokal sebagai Basis Buku Bacaan Anak
Istilah “kearifan lokal” atau local wisdom mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosakata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut. Hal ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam membedah dan "mengobati" setiap penyakit yang timbul sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum.
Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor keterlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antarkomunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitanya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beraneka ragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan objek permasalahan yang sama.
Sebagai misal, orang Jawa yang tinggal di daerah pegunungan atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan ketika sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Jawa pegunungan atau pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri. Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan. Ia akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.
Berdasarkan gambaran tersebut dapat didefinisikan bahwa kearifan lokal adalah pandangan hidup dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai “kebijakan setempat” (local wisdom), “pengetahuan setempat” (local knowledge), atau “kecerdasan setempat” (local genious). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka itu, dengan memperhatikan ekosistem (flora,fauna dan mineral) serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mereka sendiri.
Dalam upaya pemertahanan nilai-nilai kearifan lokal ini, masyarakat setempat mengemasnya dalam bentuk “pendidikan tidak langsung” berupa cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat. Lewat berbagai kemasan ini diharapkan akan terjadi “warisan” kearifan lokal pada generasi penerusnya. Warisan yang diyakini mengandung nilai-nilai kearifan inilah yang perlu dimanfaatkan sebagai basis bacaan anak. Dengan cara demikian, diharapkan akan tertanam norma-norma budaya sendiri pada diri anak, yang secara potensial (langsung atau tidak langsung) akan berpengaruh dalam perilaku hidupnya.
Penulisan Cerita Anak Berbasis Kearifal Lokal“Buku cerita bukan pengganti kehidupan tetapi dapat memperkaya kehidupan.” Demikian ungkapan May Hill Arbuthnot dalam bukunya Children of Books. Peneliti bacaan anak ini mengatakan bahwa ketika kehidupan terkonsentrasi pada kenyataan sehari-hari, buku justru mampu mempertinggi kepekaan. Buku bacaan dapat membantu membebaskan diri dari kesulitan dengan memberi wawasan baru, memberi kesempatan beristirahat dan kesegaran yang kita butuhkan, menjadi sumber informasi yang menyenangkan, dan disukai bagi orang yang tahu manfaatnya.
“Buku bacaan untuk anak secara alamiah adalah buku yang disukainya,” kata Arbuthnot. “Secara psikologis anak selalu mencari-cari untuk keseimbangan yang sulit antara kebahagiaan pribadi dan persetujuan sosial. Dan, ini tidak mudah baginya.” Namun, bacaan dapat membantu anak secara langsung maupun tidak langsung. Yang penting diketahui oleh para penulis dan ilustrator cerita untuk anak adalah kebutuhan-kebutuhan yang ingin dicapai oleh anak. Antara lain, rasa aman, penyaluran emosi yang menyebabkan anak suka dengan cerita-cerita menyentuh perasaan, ingin lebih pandai karena anak suka berpikir, keberhasilan atau prestasi untuk pertumbuhan moral, permainan dan perubahan sebagai pemenuhan daya imajinasi dan fantasi, keindahan atau seni, bimbingan dan kasih sayang.
Rampan (2003:89-94) mengatakan bahwa buku cerita anak adalah buku cerita yang sederhana tetapi kompleks. Kesederhanaan itu ditandai oleh syarat wacananya yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak ruwet sehingga komunikatif. Di samping itu, pengalihan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak dan keberadaan jiwa dan sifat anak-anak menjadikan syarat cerita anak-anak yang digemari. Dengan kata lain, cerita anak-anak harus berbicara tentang kehidupan anak-anak dengan segala aspek yang berada dan memengaruhi mereka.
Pada sisi lain, kekompleksan cerita anak ditandai oleh strukturnya yang tidak berbeda dari struktur fiksi pada umumnya. Dengan demikian, organisasi cerita anak-anak harus ditopang sejumlah pilar yang menjadi landasan terbinanya sebuah bangunan cerita. Sebuah cerita akar, menjadi menarik jika semua elemen kisah dibina secara seimbang di dalam struktur yang isi-mengisi sehingga tidak ada bagian yang terasa kurang atau terasa berlebihan. (Badingkan dengan Toha_Sarumpaet, 2003: 111-121).
Secara sederhana, sebuah cerita sebenarnya dimulai dari tema. Rancang bangun cerita yang dikehendaki pengarang harus dilandasi amanat, yaitu pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Namun, amanat ini harus dijalin secara menarik sehingga anak-anak tidak merasa membaca wejangan moral atau khotbah agama. Pembaca dihadapkan pada sebuah cerita yang menarik dan menghibur sehingga dari bacaan itu anak-anak dapat membangun pengertian dan menarik kesimpulan tentang pesan apa yang hendak disampaikan pengarang. Umumnya, tema yang dinyatakan secara terbuka dan gamblang tidak akan menarik minat pembaca.
Pilar kedua adalah tokoh. Secara umum, tokoh dapat dibagi dua, yaitu tokoh utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis). Tokoh utama ini biasanya disertai tokoh-tokoh sampingan yang umumnya ikut serta dan menjadi bagian kesatuan cerita. Sebagai tokoh bulat, tokoh utama ini mendapat porsi paling istimewa jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh sampingan. Kondisi fisik maupun karakternya digambarkan secara lengkap. Di samping itu, sering pula dihadirkan tokoh datar, yaitu tokoh yang ditampilkan secara satu sisi (baik atau jahat) sehingga dapat melahirkan tanggapan memuja ataupun membenci dari para pembaca. Penokohan seharusnya memperlihatkan perkembangan karakter tokoh. Peristiwa-peristiwa yang terbina dan dilema yang muncul di dalam alur harus mampu membawa perubahan dan perkembangan pada tokoh hingga lahir identifikasi pembaca pada tokoh yang muncul sebagai hero atau sebagai antagonis yang dibenci.
Pilar ketiga adalah latar. Peristiwa-peristiwa di dalam cerita dapat dibangun dengan menarik jika penempatan latar waktu dan latar tempatnya dilakukan secara tepat. Karena latar berhubungan dengan tokoh dan tokoh berkaitan erat dengan karakter. Bangunan latar yang baik menunjukkan bahwa cerita tertentu tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak menunjang tokoh dan peristiwa-peristiwa khas yang hanya terjadi di suatu latar tertentu saja. Dengan kata lain, latar menunjukkan keunikan tersendiri dalam rangkaian kisah sehingga mampu membangun tokoh-tokoh spesifik dengan sifat-sifat tertentu yang hanya ada pada kawasan tertentu itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa latar memperkuat tokoh dan menghidupkan peristiwa-peristiwa yang dibina di dalam alur, menjadikan cerita spesifik dan unik.
Pilar keempat adalah alur. Alur menuntut kemampuan utama pengarang untuk menarik minat pembaca. Dengan sederhana alur dapat dikatakan sebagai rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Alur dapat dibina secara lurus, di mana cerita dibangun secara kronologis. Peristiwa demi peristiwa berkaitan langsung satu sama lain sampai cerita berakhir. Alur juga dapat dibangun secara episodik, di mana cerita diikat oleh episode-episode tertentu, setiap episodenya ditemukan gawatan, klimaks, dan leraian. Khususnya pada cerita-cerita panjang, alur episodik ini dapat memberi pikatan karena keingintahuan pembaca makin dipertinggi oleh hal-hal misterius yang mungkin terjadi pada bab selanjutnya. Alur juga dapat dibangun dengan sorot balik atau alur maju (foreshadowing). Sorot balik adalah paparan informasi atau peristiwa yang terjadi di masa lampau, dikisahkan kembali dalam situasi masa kini, sementara "foreshadowing" merupakan wujud ancang-ancang untuk menerima peristiwa-peristiwa tertentu yang akan terjadi.
Sebuah cerita tidak mungkin menarik tanpa peristiwa dan konflik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi menimbulkan konflik tertentu, seperti konflik pada diri sendiri (person-against-self); konflik tokoh dengan orang lain (person-against-person); dan konflik antara tokoh dan masyarakat (person-against-society). Dengan alur yang pas karena peristiwa-peristiwa yang sinkronis dengan konflik umumnya meyakinkan pembaca anak-anak dan hal itulah yang membawa mereka senang, takut, sedih, marah, dan sebagainya. Dengan bantuan bahasa yang memikat, anak-anak merasa senang untuk terus membaca.
Pilar kelima adalah gaya. Di samping pilar-pilar lainnya, gaya menentukan keberhasilan sebuah cerita. Secara tradisional dikatakan bahwa keberhasilan sebuah cerita bukan pada apa yang dikatakan, tetapi bagaimana mengatakannya. Kalimat-kalimat yang enak dibaca; ungkapan-ungkapan yang baru dan hidup; suspense yang menyimpan kerahasiaan; pemecahan persoalan yang rumit, namun penuh tantangan, pengalaman-pengalaman baru yang bernuansa kemanusiaan, dan sebagainya merupakan muatan gaya yang membuat pembaca terpesona. Di samping sebagai tanda seorang pengarang, gaya tertentu mampu menyedot perhatian pembaca untuk terus membaca. Bersama elemen lainnya seperti penggunaan sudut pandang yang tepat, pembukaan dan penutup yang memberi kesan tertentu, gaya adalah salah satu kunci yang menentukan berhasil atau gagalnya sebuah cerita.
Pilar keenam adalah ilustrasi. Ilustrasu adalah gambaran visual yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cerita. Oleh karena itu, ilustrasi yang baik akan dapat mendorong anak untuk tertarik membaca cerita dan dapat mempercepat keutuhan pemahaman anak atas isi cerita. Terkait dengan itu, ilustrasi cerita hendaknya disajikan secara ekspresif, imajinatif fantastis, dan dapat memperkaya wawasan anak.
Pascawacana
Poko-pokok pemikiran tersebut kiranya dapat menyadarkan kita bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang ditanamkan nenek moyang kita lewat kemasan cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat dapat kita berdayakan dalam bentuk bacaan anak. Lewat bacaan berbasis kearifan lokal ini diharapkan anak dapat memetik norma-norma yang berpijak pada budaya sendiri, yang langsung atau tidak langsung akan berimbas pada kehidupannya.
Agara pemikiran ini tidak hanya sebatas wacana, menjadi tugas kita semua (pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat) untuk segera melakukan tindakan nyata sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita masing-masing. Dengan cara demikian, dampak arus global yang dapat memorak-porandakan tatanan nilai-nilai kearifan yang selama ini kita yakini kebenarannya akan dapat terbendung.
Pustaka Acuan
Brodart Foundation. 1979. Elementary School Library Collection: A Guide to Books and Other Media. Various Editions. Newark, NJ.: Bro-dart Foundation.
Budd, R. W., R. K. Thorp, dan L. Donohew. 1967. ContentAnalysis of Communications. New York: Macmillan.
Falcon, L. Nieves. 1986. “Children’s Books as a Liberating Force.” Dalam Interracial Books for Children Bulletin, Vol. 7, No. 1, hal. 4-6.
Forsdale, Louis. November 1955. “Helping Students Observe Processes of Communication.” dalam Teacher’s College Record 57.
Good, C. V. dan Douglas E. Scates. 1954. Method of Research: Educational, Psychological, Sociological. New York: Appleton.
Gunawan, Tuti. 2007. Makalah dalam seminar "Tahap Perkembangan Anak dan Mengenal Cara Belajar Anak".
Hadits, Fawzia Aswin. 2003. "Psikologi Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar" dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Huck, Charlotte S., 1993. Children’s Literature in the Elementary School. Fifth Edition. Forth Worth, TX: Harcourt Brace.
Lloyd, Marcus. 1981. The Treatment of Minorities in Secondary School Textbooks. New York: Anti-Defamation League of B’nai B’rith.
Pratt, David. 1972. How to Find and Measure Bias in Textbooks. Englewood Cliffs: Educational Technology Publication.
Rampan, Korrie Layun. 2003. Dasar-Dasar Penulisan Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati Halaman : 89 -- 94
Titik W.S. 2003. "Menulis" dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Toha-Sarumpaet, Riris K. Tanpa Tahun. “Sastra dan Pemahaman Budaya.” Makalah untuk diskusi Program Studi Ilmu Susastra, Depok: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.
____________. 2003. “Struktur Bacaan Anak” dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Wilson, H. W. 1960-1980. Children’s Catalog. Various Editions. New York: H. W. Wilson.
Langganan:
Postingan (Atom)